Oleh: U Diar
Transportasi adalah keperluan vital bagi kehidupan. Keberadaan infrastuktur transportasi memiliki kaitan erat dengan mobilitas masyarakat, kelancaran arus barang dan jasa, dan juga akses penunjang kebutuhan hidup lainnya. Bahkan, infrastruktur transportasi juga tidak bisa dikesampingkan perannya sebagai penyokong stabilitas keamanan dan pertahanan suatu negara. Oleh karena itu, persoalan infrastruktur transportasi ini bukanlah sekadar persoalan teknis, sehingga tidak bisa dipandang sebelah mata, tidak layak dianggap cukup apa adanya saja, dan juga tidak boleh dibangun dengan strategi yang salah atau sengaja dibuat bermasalah.
Belajar dari jejak keemasan Islam, persoalan infrastruktur transportasi begitu diperhatikan dengan penuh tanggung jawab. Bukan hanya jalan untuk manusia, hewan pun mendapatkan perhatian yang sama. Masyhur perkataan Khalifah Umar Bin Khaththab terkait hal ini. “Seandainya seekor keledai terperosok di kota Baghdad, niscaya umar akan dimintai pertanggungjawabannya, seraya ditanya ‘mengapa tidak meratakan jalan untuknya?’”. Umar Bin Khaththab pada masanya juga melakukan pembangunan jalan ataupun kanal untuk perdagangan dan transportasi, dilengkapi dengan rumah singgah bagi musafir dengan dana yang diambilkan dari baitul mal. Keberadaan fasilitas bagi rakyat ini pun masih bertahan hingga masa pemerintahan Umar Bin Abdul Aziz. [1]
Masa kekhilafahan berikutnya turut memberikan perhatian besar pada infratruktur transportasi ini. Teknologi dan manajemen fisik jalan telah dikembangkan. Tahun 950, jalan-jalan yang ada di Cordoba sudah diperkeras, secara teratur dibersihkan dari kotoran, dan malamnya diterangi lampu penerangan. [2] Tahun 1900, Sultan Abdul Hamid II memulai proyek kereta api “Hejaz Railway” dengan jalur terbentang dari Istanbul sampai ke Mekkah, Melewati Damaskus, Jerussalem, dan Madinah. Hejaz Railway ini dipertemukan dengan Baghdad Railway, dan salah satu fungsinya untuk memudahkan pergerakan pasukan khilafah dalam mempertahankan kedaulatan wilayah Islam dari ancaman penjajah.
Kemampuan penyediaan infrastruktur transportasi yang berkualitas di negeri Islam, dikarenakan adanya keseriusan dalam pelayanan publik, yang tampak pada tiga prinsip sebagai berikut:
1. Pembangunan infrastruktur adalah tanggung jawab negara, mengingat fasilitas tersebut dibutuhkan banyak manusia dan membutuhkan biaya yang sangat besar
2. Pembangunan infrastruktur transportasi diimbangi dengan perencanaan wilayah yang mumpuni, sebab tata wilayah yang baik akan berdampak pada pengurangan kebutuhan transportasi
3. Pembangunan infrastruktur transportasi distandartkan pada teknologi mutakhir yang dimiliki
Berkaitan dengan tanggung jawab negara, maka Islam memandang bahwa pengadaan infrastruktur merupakan bagian nyata dari pelayanan negara kepada masyarakat. Disediakan sedemikian rupa, agar masyarakat bisa memanfaatkannya dengan nyaman. Pelayanan ini berbeda dengan bisnis, sehingga fokusnya tidak mencari keuntungan. Tidak ada fasilitas jalan yang harus dibayar dulu supaya bisa melewatinya, karena dalam pandangan Islam jalan merupakan bagian dari jenis kedua harta milik umum.
Dalam kitab Sistem Keuangan di Negara Khilafah, dituliskan bahwa jenis kedua harta milik umum adalah harta yang keadaan asal pembentukannya menghalangi seseorang untuk memilikinya. Didalam kitab itu dinyatakan bahwa manusia berserikat atas jalan umum, artinya mereka berhak untuk berlalu lalang di atasnya, bahkan karena begitu pentingnya fasilitas jalan ini, Rasul SAW memberikan perhatian lebih, seperti dinyatakan dalam HR. Syaikhan dari jalur Abu Hurairah yang artinya: “Menjauhkan duri dari jalan (umum) adalah shadaqah”. Rasulullah SAW juga melarang duduk-duduk di jalanan karena duduk-duduk di jalanan sama dengan menghalangi orang lain untuk berlalu lalang atau mempersempit jalan mereka.
Keberadaan status jalan sebagai milik umum ini menjadikan tidak boleh adanya kepemilikan pribadi secara khusus terhadap sesuatu yang menjadi bagian dari kepemilikan umum. Larangan ini bersifat tetap. Demikian juga tidak boleh menguasai/memagari sesuatu yang diperuntukkan bagi semua manusia, karena Rasulullah SAW bersabda yang artinya “Tidak ada penguasaan (atas harta milik umum) kecuali bagi Allah dan Rasulnya”. (HR. Abu Dawud). Tindakan mengambil alih sebagian jalan umum secara permanen dan mengkhususkan individu menguasainya secara terus menerus sama halnya dengan penguasaan jalan tersebut. Padahal tidak boleh ada penguasaan kecuali oleh negara, yang hasilnya dikembalikan lagi untuk pelayanan dan kepentingan umum. Pengadaan infrastruktur transportasi umum membutuhkan pembiayaan yang sangat besar, yang pembiayaannya merupakan bagian dari pembelanjaan baitul mal. Sedangkan pendapatan baitul mal dibedakan menjadi beberapa bagian sesuai dengan jenis hartanya.
1. Bagian fai dan kharaj:
2. Bagian kepemilikan umum
3. Bagian shadaqah
Pembelanjaan baitul mal untuk kepentingan umum, termasuk pengadaan infrastruktur transportasi dimasukkan pada seksi penyimpanan harta pemilikan umum. Seksi ini dibiayai dari pendapatan pemilikan umum berdasarkan pendapat Khalifah sesuai koridor hukum syara’. Jika harta dari kepemilikan umum tidak mencukupi, maka harta dari bagian lain baitul mal dapat digunakan sesuai kebutuhan. Jika masih belum mencukupi juga, maka Khalifah akan menempuh salah satu dari tiga cara berikut:
1. Pinjaman dari negara-negara asing maupun lembaga keuangan internasional. Jika pinjaman yang ditawarkan mengandung riba dan syarat-syarat tertentu yang menjadikan negara pendonor berkuasa atas kaum muslimin, maka opsi pertama ini tidak dapat dilakukan. Sebab kedua syarat tersebut dilarang oleh Islam.
2. Penguasaan/pemagaran atas sebagian harta milik umum. Hasilnya tidak dikuasai oleh negara untuk kepentingan pribadi, tetapi digunakan untuk pembiayaan kemaslahatan masyarakat
3. Menetapkan pajak (dharibah) kepada umat. Penetapan pajak ini merupakan opsi terakhir ketika kas baitul mal benar-benar kosong, disaat masih ada kewajiban yang harus ditunaikan oleh baitul mal terhadap kaum muslimin yang sangat dibutuhkan dan jika tidak dibiayai maka akan menimbulkan bahaya atau dharar (termasuk perawatan infrastruktur jalan). Kadar pengambilan pajak tidak boleh melebihi kadar yang memang dibutuhkan, dan pengambilannya hanya dilakukan kepada mereka yang kaya atau yang memiliki kelebihan pemenuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan pelengkap secara makruf. Jadi pajak bukanlah sumber rutin pemasukan baitul mal, dan tidak ditimpakan pada semua orang, dalam semua aspek barang dan jasa.
Berkaitan dengan perencanaan tata wilayah, pada tahun 762 Khalifah al Mansur memberikan contoh terbaik saat mendirikan kota Baghdad. Kota yang menurut sejarahwan perkotaan Modelski dan Chandler, telah memegang rekor sebagai kota terbesar dunia dari abad 8—13 M. Empat tahun sebelum dibangun, Khalifah al Mansur mengumpulkan para surveyor, insyinyur, dan arsitek dari seluruh dunia untuk datang dan membuat perencanaan kota. Lebih dari 100.000 pekerja konstruksi dilibatkan. Setiap kota direncanakan untuk jumlah penduduk tertentu dan dibangun fasilitas-fasilitas dasar yang dibutuhkan, termasuk pemakaman, juga pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Sebagian besar warga dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya dengan berjalan kaki, sehingga kebutuhan akan transportasi bisa ditekan.[3]
Belajar dari sejarah di atas, maka dalam pemetaan pembangunan infrastruktur transportasi, negara akan melibatkan dan mengeluarkan biaya untuk kelancaran tugas pihak terkait. Dari sisi keberadaan titik yang membutuhkan, negara akan mendapatkan laporan dari wali. Wali mendapatkan laporan dari majelis wilayah yang memiliki informasi selayaknya, tentang realita dan kebutuhan-kebutuhan wilayah-wilayah tersebut. Laporan yang masuk akan diberikan kepada tim ahli dan tim teknis terkait, untuk kemudian melakukan survey lokasi, pemetaan desain bangunan serta pembiayaanya.
Keseluruhan dana akan dilaporkan ke baitul mal untuk dibelanjakan sesuai kebutuhan, tanpa membedakan apakah itu jalan nasional, jalan provinsi, ataukah jalan kabupaten.
Di dalam baitul mal, sudah dilengkapi dengan seksi anggaran belanja negara, yang didalamnya juga memiliki badan pengendali semua harta negara, serta badan yang bertugas mengawasi dan meneliti secara mendalam terhadap bukti-bukti hasil pemeriksaan harta negara dan peruntukannya. Maka, sangat minim adanya kemungkinan korupsi dana publik jika Islam yang digunakan. Apalagi secara individual, ketakwaan penghuni daulah Islam sangat terjaga. Mereka terbina dan terbiasa berada dalam suasana iman, takut dosa, ingat tanggung jawab di akhirat, serta kontrol lingkungan juga berjalan dengan baik. Negara juga memberlakukan sanksi sebagaimana mestinya. Sehingga penerapan aturan ilahi yang terkoneksi satu dengan lainnya di bawah institusi Islam, menjadikan persoalan infrastruktur transportasi menjadi nyaman.
Kondisi ini tentu berbeda dengan realitas infrastruktur transportasi di masa kapitalis saat ini. Negeri dengan 17.380 pulau di tahun 2024 lalu, keberadaan infrastruktur transportasinya masih terkonsentrasi di pulau tertentu saja. Dan di antara jalan yang sudah ada, kondisinya bervariasi, ada yang baik, tapi tidak sedikit yang rusak. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tentang kondisi jalan tahun 2023 yang dirilis Maret 2024, total panjang jalan rusak di seluruh Indonesia jika dijumlahkan ada 62.435 km jalan berstatus rusak, dan 127.387 km jalan berstatus rusak berat. [4]
Kondisi jalanan rusak berpotensi merugikan masyarakat. Dari sisi kenyamanan berkendara, jelas berbeda, resiko kecelakaan juga besar. Dari sisi efektivitas mobilisasi barang dan jasa, juga punya resiko yang sama, maka ujungnya pasti berpengaruh pada perputaran ekonomi riil di masyarakat. Dari sisi masalah sosial, keberadaan jalan rusak juga menyebabkan konflik diametral terkait perawatan dan penanggung jawab perbaikan jalan, mengingat status jalan yang sedang rusak tersebut ada di bawah kewenangan level mana. Semua ini bisa berujung pada penurunan pelayanan bagi masyarakat.
Apalagi, kapitalisme memandang bahwa keuntungan di atas segalanya, sehingga infrastruktur yang tidak langsung menyumbang keuntungan bagi ‘yang berkepentingan’ akan dinomor sekiankan. Tak heran bila pembangunan jalan TOL (Tax On Location) semakin memanjang, sementara jalanan umum lainnya cenderung apa adanya. Kalaupun ada perawatan, maka kualitasnya bisa dinilai bersama, mayoritas tidak bertahan lama. Selain karena kualitas jalannya dan karena faktor alam, dalam kasus Infrastruktur transportasi saat ini tidak dibedakan antara ruas jalan yang hanya dilewati oleh masyarakat umum non korporasi dengan ruas jalan khusus angkutan bahan baku atau distribusi produk korporasi. Beban jalan bisa melebihi kapasitas dan kualitas yang dimiliki.
Kapitalisme juga berhasil merampas rasa takut dosa dari setiap manusia. Sekulerisme berhasil menanamkan wahn yang luar biasa mengakar rumput. Amanah perawatan jalan dipandang bukan bagian pelayanan utama, dan akan dikerjakan bila musim mudik tiba atau mendekati akhir masa anggaran. Dalam praktiknya pun menjadi rahasia umum bila antara yang dikucurkan dan yang diterima di lapangan berbeda angka. Hingga lagi-lagi kualitas yang didapat apa adanya karena dengan alasan secukupnya dana. Dan dari sisi pengguna jalan, aspek ‘yang penting cepat, hemat bahan bakar’ membuat over muatan menjadi perkara yang lumrah. Jembatan timbang memang ada, tapi tidak semua tahu bagaimana kejadian disana.
Selain minimnya takwa individu akibat gempuran sekulerisasi, kontrol masyarakat soal infrastruktur transportasi juga kurang disadari. Jikapun ada, biasanya hanya sampai viralisasi fakta di sosial media. Itu pun jika postingannya tersampaikan ke lembaga terkait, dan belum tentu akan fast response, mengingat prosedur birokrasi dalam sistem demokrasi ini sangat rumit.
Dari sisi negara pun, keberadaanya masih dipertanyakan, dominan sebagai regulator ataukah sebagai pengendali utama? Jika hanya sebagai regulator, maka penanggungjawabnya dimungkinan ditangani pihak lain (swasta), yang orientasinya bisa jadi lebih dominan mencari keuntungan/bukan pelayanan. Itulah mengapa persoalan infrastruktur transportasi akan rumit jika terus dibiarkan dalam kooptasi kapitalis.
Padahal perkara infrastruktur transportasi begitu besar perannya dalam hidup masyarakat sehari-hari. Maka dari kenyataan yang ada selama ini, sudah selayaknya diambil pelajaran, bahwa akan sangat sulit berharap kenyamanan transportasi dari pelaksanaan kapitalis demokrasi. Jalan satu-satunya adalah dengan mengikuti apa yang pernah dicontohkan sepanjang kejayaan Islam yang telah dipaparkan di depan. Yakni kembali kepada penerapan Islam, karena hanya Islamlah yang bersumber dari Ilahi (zat yang Mahamengetahui segala hajat di bumi). Dan inilah yang perlu diperjuangkan. [] Allahu ‘alam.
Referensi:
1. https://umroh.com/blog/infrastruktur-umar-bin-khattab
2. https://fahmiamhar.com/2011/07/infrastruktur-transportasi-negara-khilafah.html
3. http://www.fahmiamhar.com/2013/02/ketika-khilafah-pindah-ibu-kota.html
4. https://finance.detik.com/infrastruktur/d-7340690/data-terbaru-10-provinsi-di-ri-dengan-jalan-rusak-terbanyak#
Sumber gambar: pngtree
Tidak ada komentar:
Posting Komentar