Recent Posts

Beranda

Facebook

Cari Blog Ini

Random Posts

Recent Posts

Header Ads

Popular Posts

Comments

3-comments

Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Ads block

Banner 728x90px

Courses

6-latest-350px-course

Search This Blog

Salah Kelola Elpiji Bikin Frustasi, Bagaimana Solusi Hakiki?

Minggu, 09 Februari 2025




Oleh. Ledy Ummu Zaid

Seperti yang kita ketahui, Liquified Petroleum Gas (LPG) atau elpiji menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat Indonesia. Khususnya, elpiji 3 kilogram atau yang lebih dikenal dengan ‘gas melon’ seolah menjadi barang wajib yang harus dimiliki setiap rumah tangga. Bagaimana tidak, sehari-hari masyarakat menengah hingga miskin menggantungkan gas melon tersebut untuk memasak. Lantas, apa jadinya jika gas tersebut langka di pasaran?

Salah Kebijakan Rakyat Jadi Korban

Dilansir dari laman tribunnews.com (02/02/2025), masyarakat di sejumlah wilayah di Indonesia mulai mengalami kelangkaan elpiji 3 kilogram di pasaran. Usut punya usut, hal ini dikarenakan sejak 1 Februari 2025 pengecer dilarang menjual elpiji 3 kilogram tersebut.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung mengatakan pengecer harus terdaftar sebagai pangkalan atau sub penyalur resmi Pertamina untuk dapat menjual elpiji subsidi tersebut. Dengan kata lain, mereka harus mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB) melalui sistem Online Single Submission (OSS) terlebih dahulu.

Sejalan dengan itu, seperti yang dilansir dari laman beritasatu.com (31/01/2025), salah seorang pemilik pangkalan elpiji 3 kilogram di Jakarta Selatan, Merry (56) terpaksa menjual gas melon di pangkalannya lebih mahal, yakni Rp 17.000 per tabung. Hal ini ia lakukan karena stok elpiji 3 kilogram langka, atau tidak dapat mencukupi seluruh kebutuhan masyarakat. Walhasil, ia akhirnya berani menaikkan harganya melebihi harga eceran tertinggi (HET) yang seharusnya, yakni Rp 16.000 per tabung.

Meski demikian, Merry mengatakan masih banyak pembeli yang datang ke pangkalannya, walapun keberadaan elpiji 3 kilogram tersebut langka. Kemudian, yang tak kalah mengherankan adalah para pembeli juga berasal dari luar daerah pangkalannya, seperti Jakarta Pusat dan Jakarta Timur.

Pemilik pangkalan elpiji tersebut juga membeberkan fakta menarik terkait ketidaktepatan sasaran subsidi elpiji 3 kilogram. Dalam hal ini, tak sedikit masyarakat menengah ke atas juga membeli gas melon. Pasalnya, elpiji 3 kilogram seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat miskin saja. Ia pun sempat bingung lantaran ada tetangganya yang kaya turut membeli gas subsidi tersebut, tetapi di lain sisi, ia juga khawatir jika masyarakat miskin tidak kebagian. 

Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan tidak ada kelangkaan elpiji 3 kilogram di Jakarta. Ia menjelaskan bahwa pemerintah hanya membatasi pembelian elpiji subsidi oleh konsumen. Menurutnya, jika satu rumah tangga membutuhkan 10 tabung elpiji 3 kilogram per bulan, tetapi mereka malah memborong sebanyak 30-40 tabung, maka hal ini jelas membutuhkan pembatasan pembelian guna menghindari kelangkaan di masyarakat.

Bahlil menambahkan pembatasan ini dalam rangka untuk merapikan pendistribusian elpiji subsidi supaya tepat sasaran. Khususnya, masyarakat yang berhak menerima subsidi benar-benar menerima stimulasi dari pemerintah. Ia juga menyebutkan besaran anggaran elpiji 3 kilogram tersebut sejatinya telah mencapai lebih dari Rp 80 triliun.

Ekonomi Kapitalisme Biang Kerok

Banyak masyarakat yang mengeluh kesulitan mendapatkan elpiji 3 kilogram. Hal ini dikarenakan adanya perubahan sistem distribusi gas melon tersebut. Adapun pengecer wajib menjadi pangkalan resmi terlebih dahulu jika ingin menjual elpiji 3 kilogram. Kebijakan ini tentu menyulitkan bahkan dapat mematikan bisnis pengecer bermodal kecil. Sebaliknya, ini malah memperbesar bisnis pemilik pangkalan.

Sejalan dengan itu, masyarakat miskin yang seharusnya menjadi penerima gas subsidi ini nyatanya juga harus bersaing dengan kalangan menengah. Dalam hal ini, masih banyak kalangan menengah yang lebih memilih menggunakan elpiji 3 kilogram lantaran harganya lebih ekonomis. Walhasil, ketika terjadi kelangkaan di pangkalan elpiji seperti saat ini, masyarakat umum dan pedagang yang menggantungkan penghasilannya dari elpiji menjadi tumpah ruah dalam keriuhan memperoleh gas subsidi.

Dalam sistem ekonomi kapitalisme, kebijakan yang ada selalu berpihak kepada para pemilik modal besar untuk menguasai pasar. Tak tanggung-tanggung, hal ini dapat ditemui mulai dari bahan baku hingga bahan jadi. Tak hanya itu, adanya liberalisasi di bidang minyak dan gas (migas) ini jelas menjadi jalan pintas bagi korporasi untuk menguasai sumber daya alam (SDA) yang sejatinya milik rakyat. 

Rakyat yang tidak merasakan hasil dari pengelolaan SDA dalam negeri akhirnya pontang-panting memenuhi kebutuhan hidupnya. Kesehatan dan pendidikan yang tidak gratis dan kian mahal menjadi bukti kegagalan sistem kapitalisme dalam mensejahterakan rakyat. Sambil terus dipalak dengan pajak yang tinggi dan beragam semakin membuat pilu nasib rakyat kecil.

Islam Punya Solusi Hakiki

Jika berbicara sistem Islam, negara dilarang menyerahkan pengelolaan migas kepada perorangan atau perusahaan. Islam telah menetapkan migas termasuk dalam kepemilikan umum.

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Dengan demikian, Islam mewajibkan negara untuk mengelola SDA untuk kepentingan rakyat. Kemudian, negara juga akan memudahkan rakyat dalam mengakses berbagai kebutuhan hidup. Mulai dari layanan publik (kesehatan dan pendidikan), fasilitas umum dan SDA termasuk migas itu sendiri akan diberikan kepada rakyat secara gratis dan memadai. 

Negara tentu mampu mengelola SDA yang ada secara mandiri, atau dengan kata lain tidak diberikan kepada swasta bahkan asing. Oleh karenanya, negara memiliki sumber keuangan yang stabil sehingga mampu memenuhi kebutuhan setiap individu rakyatnya. Fungsi negara sebagai raa’in (pengurus) bagi rakyatnya akan berjalan mulus karena segala lini kehidupan diatur dengan syariat Islam secara kafah atau menyeluruh.

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang diurusnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Dalam persoalan salah kelola gas ini, Islam memiliki solusi yang hakiki jika sistem Islam yang diterapkan. Adapun negara akan mendistribusikan migas dengan cara yang mudah diakses masyarakat. Jika harus menjual harta milik umum kepada rakyat, maka negara harus menjualnya dengan harga semurah-murahnya atau dengan harga pasar. 

Khatimah

Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam. Dengan demikian, Islam memiliki solusi tuntas atas segala persoalan manusia. Dengan menerapkan aturan Sang Pencipta, Allah subhanahu wa ta’ala secara menyeluruh, kesejahteraan hidup akan tercipta bagi seluruh umat. Oleh karena itu, sebagai muslim sendiri sudah sejatinya kita hanya merindukan penerapan sistem Islam secara kafah, yaitu khilafah islamiyyah ala minhajin nubuwwah (sistem pemerintahan Islam seperti zaman kenabian). Tidak seperti hari ini, persoalan salah kelola elpiji yang bikin frustasi belum menemukan solusi hakiki.

Wallahu a’lam bishshowab. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar