Recent Posts

Beranda

Facebook

Cari Blog Ini

Random Posts

Recent Posts

Header Ads

Popular Posts

Comments

3-comments

Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Ads block

Banner 728x90px

Courses

6-latest-350px-course

Search This Blog

Mitigasi Negara Lemah Rakyat Tertimpa Musibah

Sabtu, 15 Februari 2025



Oleh: Tri S, S.Si

Banjir kembali mewarnai setiap awal tahun. Seperti tahun-tahun sebelumnya, diawal tahun 2025 ini, kondisi cuaca seperti intensitas hujan yang tinggi menyebabkan bencana hidrometeorologi basah seperti banjir dan tanah longsor. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyampaikan, pada pekan ke-dua Januari, Indonesia sudah tercatat 74 kali terjadinya bencana dan didominasi oleh bencana banjir, juga disampaikan bahwa potensi bencana banjir ini juga perlu diwaspadai di bulan Januari hingga Maret mendatang. (Kompas.com, 21/01/2025)

Bencana hidrometeorologi ini terjadi di sejumlah wilayah Indonesia, mulai dari Sumatera hingga Nusa Tenggara Barat. Misalnya di kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan yang menjadi salah satu daerah yang terdampak cukup parah, hingga 831 rumah dari beberapa kecamatan yang terdampak banjir.

Banjir juga terjadi di Kecamatan Tenayan, Kota Pekan Baru Riau, yang diakibatkan pasang surutnya air laut sehingga sungai meluap dan menyebabkan 50 rumah terendam banjir. Beberapa daerah di pulau Jawa juga terdampak bencana banjir, tanah longsor, dan angin kencang. (CNN Indonesia, 21/01/2025)

Di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) juga tidak ketinggalan, banjir bandang dan tanah longsor di Kecamatan-kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat pada tanggal 10 Januar 2025, sehingga 197 dari rumah warga terdampak banjir tersebut. Banjir menjadi musibah langganan setiap tahun yang hingga sekarang masih terulang, sehingga perlu adanya evaluasi terkait mitigasi.

Musibah banjir di beberapa tahun sebelumnya ternyata tidak menjadi pembelajaran bagi pemerintah sehingga melakukan upaya yang lebih serius terutama untuk mengantisipasi dan mitigasi banjir, padahal resikonya adalah kehilangan nyawa masyarakat. Setiap bencana memanglah suatu musibah dari Allah SWT, tetapi tidak lepas dari kerusakan yang disebabkan oleh perbuatan atau ulah tangan manusia. Intensitas hujan bukanlah faktor utama karena sejak zaman nenek moyang intensitas hujan yang tinggi juga terjadi namun tidak sampai menyebabkan banjir. Hal ini berarti ada faktor-faktor lain yang perlu dikaji oleh negara sehingga penyebab terjadinya bencana alam dapat diantisipasi.

Mitigasi bencana adalah hal yang sangat penting, karena dengan mitigasi yang tepat akan meminimalisir korban jiwa, korban harta dan dampak lainnya. Namun sayangnya, mitigasi bencana di negara ini masih sangat lemah. Sepanjang tahun 2024 saja, Geoportal data bencana di Indonesia tercatat telah terjadi 1.904 bencana, diantaranya bencana banjir sebanyak 957 kejadian, 405 cuaca ekstrim, 335 kasus karhutla, 118 disebabkan tanah longsor, 54 kasus kekeringan, 17 gempa bumi, 5 kasus erupsi gunung, dan 12 gelombang pasang dan abrasi. Maka seharusnya 2024 atau tahun-tahun sebelumnya menjadi pembelajaran dan harusnya ada upaya mitigasi yang benar-benar serius.

Di tengah bencana seperti ini, menuntut adanya sikap mental yang tanggap bencana pada semua pihak, terutama pada para penguasa yang menjadi pengurus rakyatnya. Namun faktanya, hampir setiap terjadinya bencana pemerintah selalu gagap dalam penanganan, bahkan dalam beberapa kasus pemerintah kalah cepat dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), parpol, ormas atau masyarakat biasa. Tidak jarang, pemimpin bersikap abai, dan memilih kegiatan lain daripada melihat dan mengunjungi daerah bencana, kalaupun dilakukan, kunjungan tersebut tidak lebih dari seremonial belaka sekedar membangun citra.

Dalam publikasi laporan jurnal Ecologi and Society yang merupakan hasil riset yang telah dilakukan tim peneliti gabungan dari University of Göttingen dengan Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Badan Meteorologi Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), laporan ini mengungkap alasan yang menyebabkan Indonesia dilanda bencana banjir lebih sering dan lebih parah, karena perubahan tata guna lahan yang cepat, seperti menjadi perkebunan kelapa sawit dan karet di Indonesia telah berdampak pada siklus air lokal di negeri ini, salah satunya adalah banjir yang terjadi di sejumlah wilayah.

Oleh sebab itu, seharusnya negara tidak begitu mudah dan serampangan memberikan kebebasan kepada oligarki dan korporasi untuk mengubah lahan hutan menjadi lahan bisnis dan mengorbankan keselamatan rakyat dan keseimbangan alam. Apalagi dengan berdalih pertumbuhan ekonomi dan proyek pembangunan yang pada faktanya tidak dinikmati oleh rakyat, dan malah menyebabkan dampak ekologis yang tak berkesudahan.

Mirisnya, di tengah bencana yang bertubi-tubi ini, presiden justru berencana membuka 20 juta hektar hutan untuk menjadi lahan kelapa sawit, dengan alasan demi ketahanan pangan, energi dan air. Bapak Presiden juga menyebutkan pembukaan lahan ini tidak membahayakan karena sawit juga pohon yang menyerap karbon. Padahal faktanya ladang sawit punya dampak ekologis yang besar, belum lagi luas wilayah ini dikatakan setara dengan dua kali luasnya Pulau Jawa, hal ini tentu sangat beresiko.

Pernyataan Bapak Presiden tadi, berlawanan dengan riset Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di tahun 2022, bahwa sawit bukanlah termasuk tanaman hutan atau tanaman rehabilitasi hutan dan lahan (RHL). Penanaman sawit yang ekspansif, monokultur, dan tidak sesuai prosedural di kawasan hutan akan menimbulkan masalah hukum, ekologis, hidrologis, sosial dan deforestasi hutan.

Direktur Eksekutif Sawit Watch menyampaikan, ambisi pemerintah memperluas lahan sawit dengan mengabaikan deforestasi merupakan kesalahan besar karena kemampuan sawit dalam menyerap emisi karbon tidak sebanding dengan emisi karbon yang dihasilkan dari alih fungsi lahan. Apalagi dampak hilangnya hutan, keragaman hayati, kerusakan tanah, pelepasan emisi dan dampak lainnya seperti kemampuan hutan dalam menyerap air semakin berkurang.

Pembangunan Industri seperti kayu dan eksploitasi kayu yang berlebihan di hutan juga menjadi persoalan besar. Tidak hanya alih fungsi lahan hutan yang menjadi penyebab bencana, tetapi juga alih fungsi lahan persawahan menjadi industri di perkotaan yang menyebabkan rusaknya tata kota sehingga menyebabkan banjir dan bencana lainnya. Hingga saat ini belum ada solusi yang mampu mengatasi kerusakan alam karena kesalahan dari menguasai untuk mendiagnosa masalah dan berakhir pada solusi yang salah.

Hal ini merupakan keniscayaan dalam sistem kapitalisme di mana negara hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator yang melayani kepentingan para pemilik modal, sehingga abai pada rakyatnya sendiri. Pembangunan ala kapitalisme yang mengutamakan asas manfaat dari pada dampak, imbas dari keserakahan manusia yang mengutamakan nilai materi dan bisnis dibandingkan kelestarian alam. Ditambah senyum lebar penguasa menyambut mereka dengan membuka ruang sebebas-bebasnya bagi para oligarki dan kapitalis untuk mengeksploitasi alam negeri ini, turut menyempurnakan penderitaan rakyat negeri ini. Hal tersebut membuktikan bahwa negara dalam sistem kapitalisme justru abai terhadap keselamatan rakyat.

Dalam Islam, negara wajib menghindarkan rakyatnya dari kemudharatan, termasuk bencana. Negara akan melakukan perencanaan matang dalam membangun kota/desa dan berorientasi pada kemaslahatan seluruh rakyat. Dengan mengatur tata kota dan kepemilikan lahan, misalnya pada masa Khalifah Umar bin Khattab, beliau mendirikan biro khusus yang disebut dengan Dar al-Hisbah, dalam kitab al-ahkam as-Sulthaniyyah, al-Mawardi menyatakan " Qadli Hisbah yang mengepalai Dar al-Hisbah berhak untuk melarang orang yang mendirikan bangunan di jalan yang digunakan laluan sekaligus bisa menginstruksikan kepada mereka untuk menghancurkan bangunan yang mereka dirikan..." (Al-Mawardhi, Al-Ahkam as-Shulthaniyah, hal. 430-431)

Negara juga membangun kota berbasis mitigasi bencana. Jalan, rel kereta api, pinggiran sungai, tepian pantai atau yang lain, maka lahan-lahan tersebut tidak boleh dikonversi atau digunakan untuk kepentingan pribadi.

Karena mengganggu kepentingan orang banyak dan mengalihkan fungsinya dari fungsi yang sebenarnya sehingga menghambat rel kereta api, aliran sungai atau laut juga supaya tidak terkena bencana.

Termasuk kawasan puncak yang menjadi kawasan konservasi dan resapan air, dengan berbagai tanaman dan pohon yang ada di dalamnya tidak boleh dikonversi menjadi pemukiman yang bisa merusak fungsinya. Karena dalam Islam, ini merupakan lahan milik umum dan termasuk dalam kategori hima (daerah yang di proteksi) agar tidak dirusak dan dialihfungsikan. Jika tata ruang ini tidak diindahkan, maka daerah-daerah di bawahnya akan terkena dampaknya, yaitu tergenang air kiriman dari kawasan puncak, karena air tersebut tidak bisa diserap oleh kawasan di atasnya karena telah dialih fungsikan.

Di sini Qadli Hisbah bisa melakukan tindakan paksa, jika pengguna lahan-lahan milik umum tersebut bisa membahayakan kepentingan publik, seperti kecelakaan, meluapnya air sungai, banjir rob air laut maupun banjir kiriman akibat alih fungsi lahan tadi. Ini adalah bentuk antisipasi bencana yang dilakukan oleh negara Islam dan sebagai bentuk keseriusan peri'ayah-an negara.

Kebijakan yang sama juga dilakukan untuk mengatasi alih fungsi lahan hutan yang tentu dampak yang dihasilkan lebih besar, dan di dalam negara Islam hutan menjadi salah satu kepemilikan umum yang harus dikelola oleh negara demi kemaslahatan rakyat yang haram hukumnya untuk diserahkan kepada pihak swasta atau korporasi. Sebagaimana disampaikan dalam hadis Rasulullah Saw:

"Manusia bersyarikat dalam tiga hal, air, padang dan api". (HR. Ahmad)

Negara Islam, tidak akan memberikan ruang atau kesempatan kepada perusahaan baik asing atau dalam negara Khilafah untuk mengelola sumber daya alam (SDA) yang merupakan milik publik. Hal ini di dukung dengan sistem pemerintahan Islam yang mandiri dan tidak bergantung pada negara lain baik dari aspek politik, ekonomi dan sebagainya.

Islam telah mengatur konservasi agar ada larangan berburu binatang dan merusak tanaman demi menjaga ekosistem. Islam juga mengharuskan adanya pemetaan wilayah sesuai potensi bencana berdasarkan letak geografisnya, sehingga akan membangun tata ruang yang berbasis mitigasi bencana, sehingga aman untuk manusia dan alam.

Semua dilakukan oleh negara karena Islam menjadikan penguasa sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (perisai) bagi rakyat termasuk dalam menghadapi bencana. Karena pemimpin di dalam Islam mengatur rakyatnya dengan visi akhirat, untuk memperoleh pahala sebesar-besarnya dan sebagai bentuk taqwa yaitu ketaatan pada seluruh perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi seluruh larangan-larangan-Nya.

Wallahu'alam bhisshawab.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar