Recent Posts

Beranda

Facebook

Cari Blog Ini

Random Posts

Recent Posts

Header Ads

Popular Posts

Comments

3-comments

Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Ads block

Banner 728x90px

Courses

6-latest-350px-course

Search This Blog

Mengenal Definisi Tanah Mati

Jumat, 14 Februari 2025



Oleh: U Diar

Di kanal YouTube milik Kyai Shiddiq Al Jawi, beliau menerangkan bahwa dalam Islam, terdapat sebuah hadits mengenai penanganan tanah terlantar yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhori, yang artinya: "Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya." Merujuk pada penjelasan Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, dalam kitab beliau yang berjudul An Nidhom Al Iqtishodi fil Islam, yang dimaksud tanah mati atau tanah terbengkalai atau tanah terlantar sebagai tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seorangpun.

Berdasarkan definisi tersebut maka menghidupkan tanah mati berlaku pada objek yang berupa tanah secara fisik. Sehingga dinilai tidak pas apabila diberlakukan bagi tanah yang sudah tenggelam hingga menjadi bentuk perairan, apalagi secara kepemilikan sejati bagi lokasi tersebut adalah milik umum. Sebab sesuatu yang menjadi milik umum ini artinya adalah siapapun boleh merasakan manfaatnya, boleh menggunakan sebagaimana kebutuhannya. Terlebih diriwayatkan dalam hadits dari Abu Dawud yang artinya: "Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu padang gembalaan, air (yang dibutuhkan oleh masyarakat umum, termasuk laut), dan api (energi)."

Dari penjelasan beliau di atas, maka jika belakangan ini terungkap salah satu fakta mengenai misteri privatisasi seperti pagar laut, dinilai kurang pas jika dilegitimasi dengan konteks menghidupkan tanah mati. Sebab laut yang dimaksud pada nyatanya masih kepemilikan umum, semua warga boleh memakainya. Dan laut tersebut wujudnya sudah bukan tanah, yang bisa dikelola sebagaimana kebun atau ladang atau sawah untuk kepentingan pertanian sebagaimana lazimnya. Laut tersebut sudah berwujud perairan, yang lebih pas jika dimasukkan dalam bagian air. Sehingga laut adalah masuk pada 3 benda yang menjadi kepemilikan bersama (berserikat di dalamnya).

Menjadi aneh jika kasus pemagaran laut ini ternyata kejadian di banyak tempat, lalu seakan-akan ada dalil yang mengizinkannya. Bukankah dengan dipagari, lokasi tersebut pada akhirnya tidak bisa dijangkau semua orang? Bukankah ini sama saja dengan mengkhususkan area tersebut hanya dapat diakses dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu saja? Bukankah privatisasi seperti ini justru merugikan orang lain yang membutuhkan? Bukankah perbuatan ini juga menyebabkan ancaman bagi keseimbangan ekosistem di sekitarnya?

Pengkaplingan atas kepemilikan umum dalam sekala luas ini merupakan misteri yang membuat publik bertanya kemana negara pada kasus ini. Sebab dengan adanya pembatasan, warga sudah tidak lagi bebas memanfaatkan, tidak lagi memiliki kedaulatan wilayah yang mereka butuhkan. Dan ini tentu bertolak belakang alias melanggar putusan MK Nomor 85/PUU-XI/3013 yang melarang pemanfaatan ruang untuk HGB di atas perairan. Sehingga tidak heran jika fenomena ini dinilai sebagai bentuk kurangnya perlindungan negara pada kepemilikan umum.

Padahal, jika merujuk pada pandangan Islam, satu-satunya sistem berkeadilan yang bersumber dari Zat Maha Adil, perlindungan atas kepemilikan umum adalah keharusan. Ketika haji wada di Arafah, Rasulullah pernah bersabda yang artinya: "Sungguh darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian itu haram atas kalian seperti haramnya hari ini, bulan ini, dan negeri ini." (HR. al Bukhari dan Muslim). Maka, jikalau warga sekitar tidak memiliki kekuatan sebanding untuk mencegah privatisasi kepemilikan umum di area mereka, negara lah yang seharusnya menguatkan. Jika dibiarkan, maka kezaliman lah yang akan terjadi.

Belajar dari kasus pemagaran laut ataupun yang sejenis, yang sampai dikaitkan dengan dalil Islam tentang menghidupkan tanah mati, maka sudah seharusnya membuat pikiran terbuka. Bahwa Islam sebetulnya tidak cukup jika diambil kutipan fiqih nya semata untuk kepentingan sekelompok orang. Berbagai kerusakan dan kezaliman yang muncul di zaman kapitalisme, termasuk legitimasi privatisasi yang menggunakan dalil menghidupkan tanah mati ini tidak layak jika terus dibiarkan dengan legitimasi dalil.

Apalagi jika arahnya hanya untuk mengistimewakan segelintir orang saja. Islam semestinya diterapkan semuanya sehingga semua orang bisa merasakan keadilannya.

Mengapa harus Islam, karena sejatinya Islam sudah sempurna aturannya. Sudah membahas tentang macam-macam kepemilikan dan konsekuensinya secara adil. Sudah pernah terbukti mampu membangun ekonomi sampai level sejahtera tanpa menzalimi hak sesama manusia. Dan Islam juga memiliki perangkat aturan mengenai kepemimpinan, yang pada intinya kepemimpinan harus dipegang oleh mereka yang benar-benar mampu dan independen mengurus rakyat dengan amanah. Maka sangat disayangkan jikalau aturan yang sempurna ini terus dipasung dalam wadah kapitalisme. Sehingga menjadi penting untuk mengagendakan aturan Islam ini diterapkan secara nyata dalam institusi yang tepat, institusi Islam, sebagaimana zaman Nabi, shahabat, dan penerusnya. []

Sumber gambar: jogja.tribunnews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar