Oleh: Tri S, S.Si
Menjelang perayaan Nataru 2024/2025 pemerintah melalui Menag mengajak seluruh masyarakat untuk terus menjaga keharmonisan antarumat beragama. Menteri Agama Nasaruddin Umar menghimbau untuk memelihara hubungan baik sebagai warga bangsa yang hidup dalam keberagaman. Ia juga mengajak masyarakat untuk memanfaatkan momen Natal dan Tahun Baru sebagai waktu untuk memperkuat nilai-nilai kebersamaan.
Sekilas memang tidak ada masalah dengan pernyataan nenag tersebut. Namun jika kita telisik lebih dalam melalui berbagai realita yang ada maka akan kita dapati bahwa toleransi yang digembar gemborkan tersebut hanyalah narasi jalan tengah untuk menjembatani antara haq dan bathil. Hal tersebut bagaikan mencampur air dengan lumpur.
Sikap mengompromikan antara hak dan batil untuk menyatukan keberagaman dan perbedaan ditengah masyarakat lumrah adanya dalam aqidah sekuler. Hal ini mengindikasikan bahwa akar masalahnya adalah aqidah sekuler yang rusak, sehingga para pengemban aqidah ini menganut persepsi yang salah terhadap kehidupan. Alih-alih menjunjung tolerasnsi, malah berakhir kehilangan jati diri.
Kaum sekuler menganggap toleransi adalah menghormati kebebasan pada perbedaan pendapat dan keberagaman yang dibungkus dalam wadah pluralisme dan kebebasan untuk mencampur dua unsur atau lebih agama, kepercayaan atau tradisi budaya yang berbeda untuk membuat sistem kepercayaan baru (sinkretisme). Toleransi dalam sistem sekuler tidak memiliki batasan bahkan mendorong manusia untuk keluar dari batasan nilai-nilai agama. Dengan prinsip toleransi tanpa batas tersebut, wajar jika kita dapati seorang muslim bisa sholawatan di gereja, atau mengucapkan ucapan natal dan tahun baru serta terlibat dalam perayaan Nataru tersebut.
Mereka pun mengeklaim bahwa tindakan tersebut adalah toleransi yang ideal sementara selain mereka intoleransi dan perlu untuk ditertibkan, bahkan atas nama toleransi pengajian dibubarkan sementara perayaan Nataru dijaga ketat. Toleransi semacam ini tentu cukup meresahkan, berpotensi memunculkan konflik antar kelompok, diskriminasi, kehilangan identitas agama atau murtad dan tantangan disintegrasi.
Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Inilah apa yang diberikan oleh Amr bin al-Ash kepada penduduk Mesir berupa jaminan keamanan atas diri, agama, harta benda, gereja-gereja, salib, darat, dan laut mereka.”
Bahkan pada masa kekhilafahan Abasiyah toleransi tersebut tampak dari data sejarah dimana wilayah atau dar Islam meski penduduknya mayoritas nonmuslim akan tetap mereka hidup damai dalam sistem keamanan Islam. Contohnya Persia (Iran modern) mayoritas penduduknya adalah penganut Zoroastrianisme dan Kristen; Armenia mayoritas penduduknya adalah Kristen; Georgia, mayoritas penduduknya adalah Kristen Ortodoks; Azerbaijan mayoritas penduduknya adalah penganut Zoroastrianisme dan Kristen.
Wilayah di Afrika Timur terdapat Mesir Meskipun Islam sudah menyebar, masih banyak penduduk Kristen Koptik; Nubia (Sudan modern) mayoritas penduduknya adalah Kristen Ortodoks; Ethiopia mayoritas penduduknya adalah Kristen Ortodoks.
Di wilayah Eropa tedapat Sisilia (Italia modern) mayoritas penduduknya adalah Kristen Ortodoks; Al-Andalus (Spanyol modern) mayoritas penduduknya adalah Kristen Katolik dan Yahudi; Kreta (Yunani modern) mayoritas penduduknya adalah Kristen Ortodoks.
Demikianlah gambaran toleransi dalam sistem kehidupan Islam, yakni tanpa harus mencampuradukkan ajaran Islam dengan agama lain seperti mencampur air dalam lumpur. Selain itu dalam Khilafah, di satu sisi kaum muslim dijaga akidahnya, sedangkan di sisi lain Khilafah memberikan perlindungan kepada ahlu dzimmah yang menjadi warganya. Fakta sejarah ini terjadi berabad-abad lamanya sepanjang tegaknya peradaban Islam. Wallahualam bisawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar