Apt. Siti Nur Fadillah, S.Farm
Menjadi negara mayoritas muslim nyatanya tidak bisa menjamin masyarakat terbebas dari pemahaman sekuler seperti Childfree. Dilansir dari laporan BPS, 71.000 perempuan Indonesia berusia 15-49 tahun memilih tidak memiliki anak. Jakarta, sebagai pusat wilayah urban, memegang angka tertinggi childfree yaitu 14,3% (RRI, 15/11/2024). Angka ini terpantau terus meningkat dalam waktu empat tahun terakhir, terutama pasca pandemi COVID-19.
Masih dilansir dari BPS, alasan utama perempuan tidak ingin memiliki keturunan adalah karena faktor kesulitan ekonomi, selain itu keinginan mengejar pendidikan lebih tinggi dan menghindari patriarki juga mempengaruhi keputusan childfree (detikhealth, 12/11/2024).
Mirisnya, fenomena ini justru divalidasi oleh Komnas Perempuan, bahwa childfree merupakan bagian dari hak asasi manusia dan tidak boleh dipandang negatif. “Terserah mereka apakah seseorang memilih untuk memiliki anak atau tidak, itu bagian dari hak pribadi yang harus dihormati,” jelas Maria Ulfah, anggota Komnas Perempuan. Tidak hanya itu, Maria juga menekankan pentingnya menciptakan lingkungan yang mendukung, agar setiap individu bisa lebih bebas menjalani hidup sesuai yang diinginkan (RRI, 15/11/2024).
Beban Berat Hidup Buntut Sistem Butut
Tidak bisa dimungkiri hulu dari fenomena childfree ini adalah sistem butut bernama demokrasi. Demokrasi yang lahir dari sekulerisme ini, telah mencabut peran Allah Swt. sebagai pembuat hukum. Kemudian menyerahkannya kepada manusia dan menggelarinya ‘kedaulatan rakyat’, berharap aturan rakyat ini mampu menandingi hukum Allah. Padahal kenyataanya kedaulatan tersebut fatamorgana belaka, sebab ‘rakyat’ yang dimaksud adalah segelintir orang yang berharta dan berkuasa. Yang memelintir dan memanipulasi aturan agar selalu menguntungkan mereka, menyisakan rakyat lain yang harus menanggung beban berat karena aturan yang tidak menguntungkan mereka. Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely.
Beban ekonomi, sebagai alasan utama childfree, disebabkan tidak adanya aturan kepemilikan dalam demokrasi. Harta milik umum yang seharusnya dikelola negara, justru dikuasai oleh segelintir orang yang memiliki modal dan kuasa. Money politics sangat mudah dilakukan karena aturan benar dan salah hanya didasarkan pada nalar manusia. Maka bisa kita saksikan betapa ‘nalar manusia’ ini telah melahirkan kebijakan ekonomi yang sangat menjepit rakyat. Hak pengelolaan SDA oleh asing dengan segala kelonggaran pajaknya, utang luar negeri yang mencapai 8.444 triliun rupiah, ditambah pungutan Tapera, BPJS, PPh, dan lain sebagainya. Bahkan muncul ungkapan “bayi baru lahir di Indonesia sudah menanggung utang sebanyak Rp29 juta” (Inilah.com, 21/03/2023). Maka tidak heran banyak pemuda memilih tidak memiliki anak agar ‘utang’ mereka tidak bertambah.
Selain dari ekonomi, kondisi sosial akibat demokrasi juga tidak kalah mengenaskan. Sekularisme, yang melahirkan demokrasi, tidak ingin penerapan aturan lain selain aturan manusia, termasuk aturan dari Allah Swt. Akibatnya pemisahan agama dari kehidupan tidak terhindarkan. Kebebasan dijunjung tinggi, ide-ide sekular dan liberal dengan leluasa masuk melalui media sosial atau media lain yang dikonsumsi masyarakat setiap hari. Tanpa ada pencegahan maupun filter. Maka ketika agama tidak lagi mewarnai keseharian, keyakinan akan rezeki dan takdir semakin memudar. Tidak lagi terlihat keyakinan bahwa ada Allah Yang Maha Kaya yang akan menjamin rezeki mereka tidak akan habis hingga maut menjemput. Maka jelas sudah bahwa sistem demokrasi tidak menghasilkan apapun melainkan kesengsaraan dan beban berat.
Generasi Terjaga dengan Islam Kaffah
Sebagai negara mayoritas muslim, bergantung pada demokrasi sama saja seperti menangkap bayang-bayang, tidak menghasilkan apapun kecuali sia-sia. Oleh karena itu kembali pada Islam Kaffah, Islam yang tidak setengah-setengah, adalah satu-satunya jalan keluar dari fenomena childfree.
Salah satu kesalahan umum yang paling sering ditemui pada Muslim saat ini adalah menganggap Islam hanya sebatas agama ritual. Padahal lebih dari itu, Islam adalah sebuah ideologi, karena memiliki pemikiran (fikrah) dan metode (thariqah). Islam tidak hanya mengatur akidah dan ibadah, tetapi juga muamalah seperti sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial, dsb. Dalam hal childfree, Islam dengan segala kesempurnaannya telah memberikan solusi yang paripurna.
Dimulai dari mengembalikan kedaulatan tertinggi kepada hukum syarak, mengembalikan peran Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum. Dengan begitu seluruh sendi-sendi kehidupan akan kembali menerapkan Islam. Sistem politik dilaksanakan dengan tujuan mengurusi kepentingan rakyat, sesuai dengan yang tertera dalam Al-Qur’an dan hadis. Tidak ada lagi aturan yang dapat dimanipulasi atau dipelintir agar menguntungkan pihak tertentu. Pemenuhan kebutuhan pokok rakyat seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan menjadi hal yang diprioritaskan.
Agar prioritas kebutuhan pokok negara terpenuhi, Islam telah mengatur sistem ekonomi yang mensejahterakan. Yaitu dengan menentukan aturan kepemilikan, aturan yang telah lama dilupakan sistem demokrasi. Islam membagi kepemilikan menjadi tiga, kepemilikan individu, umum, dan negara. Dalam kepemilikan umum, benda-benda yang dibutuhkan untuk memenuhi hajat hidup orang banyak dilarang untuk diprivatisasi. Minyak bumi, gas alam, hutan, air, dan sumber daya alam lain harus dikelola negara yang selanjutnya akan dikembalikan kepada rakyat. Dengan begitu, tidak ada lagi pajak atau pungutan-pungutan yang memberatkan rakyat, tidak ada lagi hutang luar negeri yang mencekik, perekonomian lebih stabil dan rakyat tidak lagi khawatir dengan kecukupan anak cucu mereka.
Selain itu, sistem pendidikan Islam akan menanamkan akidah yang kuat dan perilaku taat syariah, serta mencegah masuknya ide-ide sekuler seperti childfree. Generasi muda akan diajarkan bahwa anak adalah bagian dari takdir Allah yang tidak boleh diragukan kebenarannya, penyenang hati, dan sebagai kesempatan amal jariyah bagi orang tua. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
“Jika seorang wafat, seluruh amalannya terputus kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakan orangtuanya.” (HR Muslim).
Pengasuhannya merupakan kewajiban ayah dan ibu, dan tidak boleh dilimpahkan pada satu pihak saja.
Dan seluruh mekanisme ini tidak dapat terwujud secara sempurna melainkan dalam naungan Khilafah Islamiyyah. Sistem kehidupan yang dicontohkan Rasulullah lebih dari 13 abad yang lalu, sistem yang berhasil mencetak generasi hebat yang mampu membawa Islam ke puncak kejayaannya. Penuh kesejahteraan dan jauh dari kekhawatiran. Wallahua'lam bishawab. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar