Recent Posts

Beranda

Facebook

Cari Blog Ini

Random Posts

Recent Posts

Header Ads

Popular Posts

Comments

3-comments

Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Ads block

Banner 728x90px

Courses

6-latest-350px-course

Search This Blog

Polemik Sertifikasi Halal Ala Kapitalis

Minggu, 13 Oktober 2024



Oleh: Amey Nur Azizah
Pegiat Literasi 

Halal adalah standar utama dari kehidupan seorang muslim. Upaya untuk menegakannya harus terus dilakukan agar ketenangan hidup bisa dirasakan oleh semua rakyat. Selain itu, hal paling mendasar yang menentukan keberkahan hidup berawal dari makanannya, jika makanannya halal maka tubuh akan tumbuh menjadi tubuh yang baik, berkah, dst. Bersandar pada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama, rakyat berharap tidak lagi ada ke khawatiran tentang apa yang dibeli, apakah itu semua halal? Baik dzatnya, maupun prosesnya. Namun bagaimana jadinya jika barang-barang yang dikenal haram malah justru mendapatkan lebel halal dari instansi yang berwenang memberikan lebel itu? Sebagaimana yang dilansir oleh WARTABANJAR.COM, JAKARTA
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengungkapkan temuan mengejutkan terkait produk pangan dengan nama-nama kontroversial seperti Tuyul, Tuak, Beer, dan Wine yang mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama. Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, mengonfirmasi temuan ini pada Selasa (1/10). Menurut Asrorun, hasil investigasi MUI memvalidasi laporan masyarakat bahwa produk-produk tersebut memperoleh Sertifikat Halal dari BPJPH melalui jalur self declare. Proses ini dilakukan tanpa audit Lembaga Pemeriksa Halal dan tanpa penetapan kehalalan dari Komisi Fatwa MUI. “MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan terhadap produk-produk tersebut,” tegas Asrorun, menekankan bahwa nama-nama produk tersebut tidak sesuai dengan standar fatwa MUI.
Miris sekali, negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim namun justru bermasalah dalam hal penetapan halal dan haramnya. Harapan utama bisa tenang dengan adanya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sirna sudah. 
Menurut ulasan kumparanNEWS, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag) menegaskan beberapa hal terkait itu. “Pertama, harus kami jelaskan bahwa persoalan tersebut berkaitan dengan penamaan produk, dan bukan soal kehalalan produknya. Artinya, masyarakat tidak perlu ragu bahwa produk yang telah bersertifikat halal terjamin kehalalannya karena telah melalui proses sertifikasi halal dan mendapatkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal sesuai mekanisme yang berlaku,” kata Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Mamat Salamet Burhanudin. Kedua, menurutnya, penamaan produk halal sebetulnya sudah diatur oleh regulasi melalui SNI 99004:2021 tentang persyaratan umum pangan halal. Juga, Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Bentuk dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal. Peraturan tersebut menegaskan bahwa pelaku usaha tidak dapat mengajukan pendaftaran sertifikasi halal terhadap produk dengan nama produk yang bertentangan dengan syariat Islam atau bertentangan dengan etika dan kepatutan yang berlaku dan berkembang di masyarakat.

“Namun pada kenyataannya masih ada nama-nama produk tersebut mendapatkan sertifikat halal, baik yang ketetapan halalnya dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI maupun Komite Fatwa Produk Halal." Data tersebut, lanjutnya, mencerminkan fakta adanya perbedaan pendapat di antara ulama mengenai penamaan produk dalam proses sertifikasi halal. Perbedaan itu pun sebatas soal diperbolehkan atau tidaknya penggunaan nama-nama itu saja, tetapi tidak terkait dengan aspek kehalalan zat dan prosesnya yang memang telah dipastikan halal.

Inilah model sertifikasi halal dalam sistem kapitalisme.  Nama tidak jadi permasalahan asal dzatnya halal. Padahal hal ini berpotensi menimbulkan kerancuan yang dapat membahayakan, karena persoalannya adalah halal haramnya suatu benda, yang dalam Islam merupakan persoalan prinsip. 

Selain itu, Sertifikasi pun kini telah berubah  menjadi ladang bisnis. Dalam sistem buatan manusia ini, standar halal haram tidak jadi penting. Bagi sistem yang mengagungkan sekularisme dan liberalisme, semua hal boleh saja dilakukan, asalkan menguntungkan. Walhasil, tidak sedikit produk yang mengajukan sertifikasi halal secara administrasi, tetapi setelah dapat, mereka kemudian mengubah komposisi produk. Disadari maupun tidak, kemungkinan seperti ini dapat terjadi dalam situasi sekarang karena aturan dibuat untuk diakali. Padahal Islam memiliki aturan tentang benda/zat, ada yang halal ada yang haram. Negara islam wajib menjamin kehalalan benda yang dikonsumsi manusia, karena negara adalah pelindung agama rakyat. 

Sertifikasi halal adalah salah satu layanan yang diberikan oleh negara, dengan biaya murah bahkan gratis.   Negara memastikan kehalalan dan kethayyiban setiap benda/makanan dan minuman yang akan dikonsumsi manusia.  

Negara akan menugaskan para qadhi hisbah untuk rutin melakukan pengawasan setiap hari ke pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, ataupun pabrik. Para qadhi bertugas mengawasi produksi dan distribusi produk untuk memastikan kehalalan produk, juga tidak adanya kecurangan dan kamuflase.

Tindakan ini harus dilakukan, karena Islam menetapkan standar halal-haram terhadap barang dan jasa yang diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi di tengah-tengah masyarakat. Jika terbukti haram, atau setidaknya syubhat, maka tidak boleh diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar