Recent Posts

Beranda

Facebook

Cari Blog Ini

Random Posts

Recent Posts

Header Ads

Popular Posts

Comments

3-comments

Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Ads block

Banner 728x90px

Courses

6-latest-350px-course

Search This Blog

Kontroversi Sertifikasi Halal dam Sistem Sekulerisme-Kapitalisme

Minggu, 13 Oktober 2024



Oleh : Faizah

Masyarakat baru-baru ini dikejutkan dengan beredarnya video yang menayangkan adanya produk dengan nama-nama kontroversi seperti tuyul, tuak, beer, dan wine yang mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Prodak Halal (BPJPH) Kemenag. Dalam video tersebut BPJPH, sebagai lembaga yang mengeluarkan sertifikat halal saat ini, diversuskan dengan lembaga sebelumnya, yakni MUI yang begitu ketat ketika mengeluarkan sertifikat halal. Sebagai contoh Mie Gacoan yang awalnya memiliki menu bernama mi setan dan mi iblis kini sudah diubah namanya setelah mendapatkan sertifikat halal MUI. 

Merespon video tersebut, BPJPH Kementerian Agama menyampaikan bahwa polemic yang terjadi di media sosial saat ini adalah terkait nama produk yang digunakan bukan terkait dengan kehalalan produk. Kepala pusat registrasi dan sertifikasi halal BPJPH, Mamat Salamat Burhanudin menegaskan bahwa produk tersebut telah melalui proses sertifikasi halal dan mendapatkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI atau Komite Fatwa Produk Halal sesuai mekanisme yang berlaku, sehingga masyarakat tidak perlu meragukan kehalalan produk tersebut. Namun apa yang disampaikan oleh Mamat ini dibantah oleh pihak MUI. Komisi Fatwa MUI tidak pernah memberikan ketetapan halal pada produk tersebut. Kemudian pihak MUI melakukan investigasi. Dan sesuai dugaan, produk-produk miras yang disebutkan tadi memang memperoleh sertifikat halal, tetapi melalui jalur self declare tanpa audit Lembaga Pemeriksaan Halal serta penetapan kehalalan melalui Komisi Fatwa MUI.

Aroma Bisnis?

Lolosnya produk dengan nama-nama yang mengandung kontroversi tersebut melalui jalur self declare menebarkan aroma bisnis dan kepentingan yang cukup kuat pada proses pengurusannya. Self declare adalah sertifikasi halal yang dilakukan berdasarkan pernyataan pelaku usaha. Jadi pelaku usaha dapat menyatakan sendiri atau mengajukan permohonan untuk mendapatkan sertifikat halal melalui BPJPH di Indonesia. Sertifikasi halal self declare berbeda dengan jalur regular. Perbedaannya jika jalur reguler prosesnya membutuhkan pengujian kehalalan produk oleh LPH. Sedangkan sertifikasi halal self declare tidak melalui LPH dan kehalalan produk didasari pada pernyataan pelaku usaha yang kemudian diverifikasi oleh pendamping PPH. 
Kebijakan self declare ini dikeluarkan oleh Kemenag dan mulai berlaku pada 2021. Tujuannya adalah untuk memudahkan para pelaku usaha, terutama UMKM dalam mendapatkan sertifikat halal. Namun realita faktanya tidak demikian. Meskipun pada tahun lalu ada program pembagian satu juta sertifikasi halal secara gratis bagi UMKM, tetapi jumlah tersebut tidak sebanding dengan jumlah UMKM tahun 2024 yang mencapai 65 Juta unit (Indonesia.Go.ID). Karenanya masih banyak UMKM yang harus merogoh kocek sampai Rp. Rp300.000 untuk biaya pendaftaran dan penetapan kehalalan produk. Biaya ini belum termasuk biaya uji laboratorium dan akomodasi atau transportasi pemeriksaan lapangan.  Oleh karena itu dapat dipastikan bagi UMKM yang masih dalam taraf merintis akan sangat terbebani dengan mahalnya biaya pengurusan. Apalagi pemerintah menetapkan bahwa setiap UMKM wajib memiliki sertifikasi halal maksimal sampai tahun 2026 dan bagi UMKM yang tidak memiliki sertifkasi halal akan diberikan sanksi berupa peringatan tertulis atau denda administratif hingga Rp 2 miliar. Dari sini jelas bagaimana aroma kepentingan ikut melatar belakangi program ini dan  rakyat kembali harus tercekik dengan kebijakan ini.

 Pada sisi yang lain, kebijakan self declare juga menjadikan pemerintah tidak teliti dalam meloloskan produk yang halal dan tidak halal. Pemerintah hanya focus pada aspek ekonomi saja dan abai dari tugasnya untuk memberikan perlindungan terhadap rakyat dari produk pangan non halal. Hal ini tidak terjadi satu-dua kali kasus produk yang ternyata haram malah dilabeli halal, contohnya pada miras merek Nabidz yang jelas mengandung etanol 8,8% dilabeli halal oleh produsennya pada 2023 lalu. Hal ini wajar terjadi karena memang pada system self declare, pelaku usaha diberikan kebebasan dalam mengklaim sendiri kehalalan produknya, selama tidak ada laporan maka akan aman. 

Apa pun Demi Cuan

Terkait penamaan produk, sebenarnya sudah ada aturan yan dibuat oleh pemerintah dalam SNI 99004:2021 tentang persyaratan umum pangan halal, serta dalam Fatwa MUI Nomor 44 tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Bentuk, dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal. Produk yang tidak dapat disertifikasi adalah nama produk yang mengandung nama minuman keras, mengandung nama babi dan anjing serta turunannya, mengandung nama setan, yang mengarah pada hal-hal yang menimbulkan kekufuran dan kebatilan serta mengandung kata-kata berkonotasi erotis, vulgar dan/atau porno. Karenanya rootbeer, es krim rasa rhum raisin, bir 0% alkohol, rasa babi panggang, beef bacon, hamburger, hotdog, rawon setan, es pocong, mi ayam kuntilanak, coklat Valentine, biskuit Natal, mie Gong Xi Fa Cai, dan sebagainya meskipun makanan tersebut menggunakan ingredient yang halal. Namun sekali lagi, karena kebijakan self declare itulah akhirnya pada prakteknya banyak terjadi manipulasi-manipulasi
Selanjutnya jika dicermati, sebenarnya persoalan yang muncul tidak hanya terkait dengan pelabelan halal dan nama-nama produk saja. Sebab pada faktanya saat ini pemerintah masih membolehkan minol (minuman beralkohol) alias miras golongan A dengan kadar alkohol sampai 5% untuk dijual di toko pengecer seperti supermarket dan minimarket. Sedangkan yang golongan B dan C yang kadarnya lebih tinggi hanya boleh dijual di bar dan hotel atau tempat-tempat pariwisata yang sudah mendapatkan izin. Padahal seharusnya berapa pun kadar alkoholnya, jika minuman tersebut mengandung alkohol seharusnya tidak boleh diperjualbelikan karena haram hukumnya. Namun atas dalih ekonomi, miras menjadi legal diperjualbelikan. Bahkan Presiden Jokowi membuka investasi industri miras yang tertuang dalam Perpres 10/2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Pendapatan negara dari minol (MMEA) atau cukai MMEA pada 2023 mencapai Rp8,1 triliun. Angka ini setara dengan 93,42% dari target APBN 2023 sebesar Rp 8,67 triliun. Kenaikan cukai MMEA ini terjadi karena adanya peningkatan produksi sebesar 0,5% per tahun. Miras pernah menyumbang Rp250 miliar pada kas negara. Tidak heran, produksi miras di negeri ini pun semakin meningkat
Jaminan Produk Halal dalam Islam

Melihat gambaran fakta yang tengah terjadi saat ini, tampak jelas kaum muslimin tidak bisa berharap banyak terhadap negara untuk memberikan perlindungan dan jaminan terhadap kehalalan produk yang beredar di tengah masyarakat. Hal ini wajar, karena landasan negara bukan akidah Islam melainkan kemanfaatan. Selain itu, negara yang menerapkan sistem kapitalisme-sekuler tidak merasa memiliki kewajiban untuk menjamin kebutuhan pangan dan melindunginya dari zat haram. Ini berbeda dengan negara yang tegak atas landasan Islam. 

Negara yang berlandaskan Aqidah Islam akan menjadikan dirinya sebagai perisai atau pelindung bagi rakyatnya sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ terkait dengan tanggung jawab pemimpin negara, “Sesungguhnya imam itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.“ (HR Muslim).
“Imam adalah pengurus dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang diurusnya.“ (HR Muslim dan Ahmad).

Persoalan sertifikasi produk halal merupakan persoalan yang sangat penting bagi umat karena terkait dengan jaminan aman dalam mengonsumsi produk, baik secara agama (halal dan tayib) maupun secara kesehatan. Islam telah menggariskan bahwa urusan umat semacam ini adalah tanggung jawab negara sebagai bagian dari perlindungan negara terhadap agama. Laits bin Abi Sulaim meriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khaththab pernah menulis surat kepada para wali yang memimpin daerah, memerintahkan agar mereka membunuh babi dan membayar harganya dengan mengurangi pembayaran jizyah dari non muslim (Al–Amwaal, Abu Ubaid hlm. 265). Ini dalam rangka melindungi umat dari mengonsumsi dan memperjualbelikan zat yang telah diharamkan.

Standar yang digunakan negara dalam menentukan halal-haram produk adalah Al-Quran dan Sunnah, bukan ekonomi atau kepentingan-kepentingan lainnya. Standarisasi Al-Qur’an dan sunah harus bersifat menyeluruh baik dari sisi zatnya, prosesnya, hingga penamaannya tidak boleh melanggar syariat. Sedangkan mekanismenya, bisa dengan sertifikasi halal atau bentuk lainnya yang akan dikaji terlebih dahulu secara mendalam oleh negara terkait efektivitasnya dalam pengawasan produk pangan halal. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya jika Allah mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan nilai harganya.” (HR Ahmad). 

Negara juga akan memberikan sanksi bagi para produsen nakal yang melakukan manipulasi terhadap status halal-haram pada produknya, juga bagi yang memperjual belikan produk non halal, termasuk para konsumennya, sebagimana Ali bin Abi Thalib ra. pernah meriwayatkan, “Rasulullah saw. mencambuk peminum khamar sebanyak 40 kali. Abu bakar juga 40 kali. Sedangkan Utsman 80 kali. Kesemuanya adalah sunnah. Tapi yang ini (80 kali) lebih aku sukai.” (HR Muslim). Sedangkan penjual dan produsen khamar dapat dikenai sanksi yang lebih berat, termasuk hukuman cambuk, denda, atau penjara. Sanksi ini bisa lebih berat lagi karena penjual dianggap berkontribusi pada penyebaran kemaksiatan. Mekanisme seperti ini hanya bisa diwujudkankan oleh negara yang menerapkan sistem Islam. 

Wallahu'alam bishowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar