Recent Posts

Beranda

Facebook

Cari Blog Ini

Random Posts

Recent Posts

Header Ads

Popular Posts

Comments

3-comments

Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Ads block

Banner 728x90px

Courses

6-latest-350px-course

Search This Blog

Jabatan dalam Pandangan Islam Bukanlah Politik Patronase

Senin, 14 Oktober 2024



Oleh: U Diar

Wacana perubahan aturan terkait undang-undang yang salah satunya mengatur tentang kementerian menarik perhatian. Dari wacana perubahan aturan tersebut konon bisa memberikan peluang bagi semakin banyaknya kementerian yang akan dibentuk. Di antara yang memerhatikan kasus ini adalah Guru Besar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana.

Sebagaimana dikutip Tempo.co, beliau mengkritisi revisi Undang-Undang (UU) Dewan Pertimbangan Presiden atau Wantimpres dan UU Kementerian Negara yang baru disahkan. Beliau menilai, ada empat kecacatan dalam kedua revisi UU tersebut. Kecacatan pertama yang disoroti Denny adalah secara konstitusional, terutama dengan menyatakan Wantimpres sebagai lembaga negara. Kedua menurut Denny adalah cacat legislasi, karena prosesnya yang kilat dan seperti mengejar target di akhir masa jabatan. Ketiga, Denny menilai adanya cacat etika bernegara, beliau menyebut, dua RUU kejar tayang di akhir masa pemerintahan ini seharusnya tak lagi layak menghasilkan keputusan-keputusan strategis yang berdampak luas dalam kehidupan berbangsa. Terakhir, dia melihat adanya cacat demokrasi di dalam revisi kedua UU tersebut. Keduanya, kata dia mempunyai kesamaan karakter yang diubah untuk memberikan kesempatan bagi pemerintahan baru agar lebih mudah membagi jabatan kekuasaan.[1]

Terlepas dari siapa dan bagaimana, satu hal yang nampak dalam iklim demokrasi kapitalis adalah pandangan terhadap jabatan. Jabatan dinilai sebagai sesuatu yang sangat menarik. Demokrasi nampak piawai menciptakan istilah politik patronase. Sebuah istilah politik yang menggambarkan adanya pembagian keuntungan di antara para politisi dan para pendukungnya. Selain berupa harta, kuasa, salah satu keuntungan yang menjanjikan untuk dibagi rata adalah jabatan. Mengapa? Sebab dengan menduduki jabatan tertentu kemungkinan kekuasaan akan dipegang, kesempatan membuka dan mencari ladang basah untuk mendapatkan lebih banyak harta bisa jadi akan  terbuka lebar.

Jikalau sudah begini, apakah nantinya posisi di masing-masing jabatan akan membuahkan sosok yang benar-benar merealisasikan janji-janji untuk rakyat? Kalaupun pada akhirnya lahir keputusan, apakah keputusannya akan berpihak pada kepentingan rakyat? Ataukah hanya akan menguntungkan sekelompok orang tertentu? Hingga jabatan dan gelimang materinya akan menjadi bancakan di kalangan tersebut?

Dari sini, pandangan terhadap jabatan perlu untuk dikoreksi. Dilihat bukan dari kacamata demokrasi kapitalis yang membebaskan mau menjabat seperti apapun asalakan bisa cuan, melainkan dilihat dari kacamata perintah dan larangan Allah yang Mahamengetahui apa yang terbaik dan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Dan kacamata ini pernah dicontohkan semasa Islam dipraktikkan, sejak zaman Nabi Muhammad hingga generasi penerus beliau yang mengikuti jejaknya.

Kalau demokrasi kapitalis menilai jabatan sebagai bancakan penambah cuan, maka tidak demikian Islam mengajarkan. Dalam teladan kepemimpinan Rasulullah, jabatan adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Amanah ini tidaklah akan mulus jikalau disertai ambisi untuk mendudukinya. Sebab menurut pandangan ulama (Abu Bakar Aththorthusi), berambisi atas amanah kekuasaan adalah salah satu bukti dari sikap khianat.

Jika seseorang diberi amanah lalu mampu menunaikan, maka ia akan selamat. Sebaliknya, jika lalai dari amanahnya, maka pada hari kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan (lihat HR. Muslim tentang kisah Abu Dzar r.a yang menanyakan suatu jabatan kepada Nabi Muhammad. Oleh karena itu, Islam memberikan panduan bahwa amanah harus diberikan kepada mereka yang benar-benar mampu, bukan yang sekadar mau. Rasulullah mengingatkan melalui sabdanya, yang artinya: "Jika amanah sudah disia-siakan maka tungggulah saatnya. 'Ada orang yang bertanya, bagaimana amanah itu disia-siakan?' Nabi SAW bersabda: "Jika suatu urusan (amanah) diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah saatnya." (HR. Bukhari).

Islam juga menegaskan bahwa adanya jabatan bukanlah untuk sebatas kekuasaan yang memperkaya individu, melainkan kekuasaan yang fungsinya untuk mengurusi rakyat dengan berdasarkan aturan syariat. Maka tidak akan ditemui dalam Islam kondisi pemangku jabatan yang timpang dengan kondisi rakyatnya. Keimanan pada diri pejabat akan mengingatkan mereka akan pertanggungjawaban kelak, sehingga tidak akan ada yang berhura-hura di atas air mata rakyatnya.

Apalagi penerapan Islam yang melingkupi kehidupan pemilik jabatan dalam Islam akan menjadikan mereka serius memegang jabatan. Islam yang dijalankan akan menjadi pengontrol bagi pejabat untuk terus memelihara takwa dalam kesehariannya. Ini akan membuat mereka hati-hati dalam menjalankan tugasnya, mereka akan sungguh-sungguh memprioritaskan rakyat di atas diri atau keluarganya. Fokus memelihara urusan umat dengan baik akan mencegah pejabat dalam naungan Islam mencuri kesempatan selama masa jabatan. Sehingga dengan hadirnya Islam, politik patronase akan ditiadakan. Sebaliknya jabatan akan dipandang sebagai amanah yang berat dalam pertanggungjawaban.


Sumber gambar: kumparan

Sumber berita:
1. https://nasional.tempo.co/read/1918328/denny-indrayana-sebut-uu-wantimpres-dan-kementerian-negara-yang-baru-disahkan-punya-4-cacat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar