Recent Posts

Beranda

Facebook

Cari Blog Ini

Random Posts

Recent Posts

Header Ads

Popular Posts

Comments

3-comments

Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Ads block

Banner 728x90px

Courses

6-latest-350px-course

Search This Blog

Syiar Islam "Di-silent" Demi Toleransi? Tepatkah?

Sabtu, 14 September 2024



Oleh: U Diar

Bulan ini isu toleransi kembali naik ke permukaan dengan kuat. Muasalnya adalah adanya aktivitas tokoh keagamaan Non-Muslim, yang panitia penyelenggara nya mengajukan permohonan agar adzan Maghrib di televisi ditunjukkan dalam bentuk running text, serta agar kegiatan agama mereka diselenggarakan secara live di televisi nasional. Permohonan tersebut ditujukan kepada lembaga terkait, dan kemudian direspon oleh yang berwenang di bagian penyiaran.

Ketika berita tersebut sampai ke publik, publik menanggapinya dengan berbagai respon yang secara garis besar terkategori menjadi dua suara. Pertama, mereka yang bersuara mengecam dan menentang, dengan alasan bahwa tindakan demikian dianggap sebagai pemberangusan syiar adzan. Kedua, pihak yang menganggap bahwa tidak masalah adzan ditiadakan karena yang ada di televisi bukanlah adzan hakiki, melainkan hanya adzan elektronik.

Dalam peristiwa ini ada banyak hal yang perlu diperhatikan, antara lain:

1. Terkait persoalan adzan. Merujuk pada pendapat Ustadz Muhammad Shiddiq Al-Jawi, dalam tulisan di website resminya, beliau menyimpulkan bahwa: "hukum asal adzan elektronik di TV yang sifatnya rekaman itu memang tidak wajib, melainkan sekadar boleh (mubah) hukumnya menurut syara' (hukum Islam). Sebagai sesuatu yang boleh (mubah), hukum asalnya tidak mengapa jika sebuah stasiun TV tidak menayangkan adzan TV elektronik rekaman tersebut. "

Lebih lanjut beliau menuliskan "Namun adzan di TV juga berkedudukan sebagai syiar Islam, yang wajib hukumnya ditampakkan di muka publik,walaupun syiar Islam itu hukum asalnya tidak wajib. Oleh karenanya, jika peniadaan adzan di TV itu merupakan kebijakan pemerintah, atau kesepakatan komunitas tertentu, maka peniadaan adzan TV berarti merupakan tindakan menghapuskan syiar-syiar Allah (sya'aairullaah) yang hukumnya wajib untuk ditampakkan di tengah masyarakat dan berdosa jika ditiadakan."

2. Toleransi secara sederhana dapat dimaknai sebagai menghargai orang lain. Bisa menghargai keyakinannya, menghargai pilihannya, atau aktivitasnya selama tidak saling merugikan satu sama lain. Toleransi tidak diartikan saling mencoba, saling merasakan, atau saling melakukan antara hal yang diyakikini-dipilih-dilakukan oleh orang lain. Sebab pada masing-masing sudah ada batasan yang jelas. Cukuplah toleransi itu ditunjukkan dengan membiarkan mereka yang berbeda dengan kita, leluasa melakukan apa yang mereka pilih dan yakini. Layaknya orang-orang duduk minum aneka menu, maka biarkanlah mereka menikmati teh atau kopinya masing-masing, tanpa harus menyuruh teh dimasukkan ke kopi atau kopi dimasukkan ke teh. Sehingga dalam toleransi agama, bagi Muslim cukuplah Alquran surat Al-Kafirun sebagai pengingat dan sebagai batasan untuk tidak berlebih-lebihan.

3. Momen kedatangan umat Non-Muslim ke negeri dengan penduduk Muslim terbesar seharusnya bukan momen untuk "memaksa" yang mayoritas mengalah, dengan alasan demi toleransi. Sebab jika ini yang terjadi, apakah yang sebenarnya sedang terjadi justru bisa dikatakan tirani minoritas atas mayoritas? Apakah jikalau diposisikan sebaliknya, misal ada kunjungan tokoh Muslim ke negeri-negeri yang mayoritas non-muslim, mereka juga akan "men-silent" kegiatan agama mereka dengan alasan toleransi pada tokoh Muslim?

4. Maka semua perlu lebih hati-hati, bahwa frasa toleransi rawan ditunggangi oleh kepentingan sinkretisme yang mencampur aduk kan semua ajaran agama, disisipi oleh faham pluralisme agama yang mengajarkan bahwa semua agama sama, atau dibajak oleh paham humanisme yang ingin menghilangkan peran agama dari kehidupan.

Dengan deretan hal-hal di atas, maka sebagai penduduk Muslim, sudah selayaknya setiap kita menengok kembali bagaimana sesungguhnya Rasulullah pernah mencontohkan toleransi dengan benar. Praktik toleransi pernah dipraktikkan langsung oleh beliau ketika ada di Daulah Madinah Al-Munawaroh. Saat itu, Madinah dihuni oleh banyak Bani dengan banyak keyakinan. Namun beliau justru tetap menampakkan syiar Islam dengan mempraktikkan isi Alquran surat Al-Kafirun.

Sejarah hidup beliau tidak menceritakan sama sekali adanya aktivitas saling mencoba dalam praktik keagamaan. Sebaliknya, beliau teguh dengan Islam sebagai agama yang benar, agama yang tinggi dan tidak ada yang menyamainya.

Begitu pula dengan Khulafaur Rasyidin pengganti beliau hingga kekhilafahan selanjutnya, semuanya menjejakkan toleransi terbaik tanpa harus ada pluralisme, sinkretisme, humanisme, dll. Pada saat itu dakwah dalam rangka melakukan syiar Islam ke berbagai penjuru negeri tetap dilakukan. Syiar kala itu tidak terhalang dengan dalih toleransi dll. Karena memang salah satu objek syiar sendiri adalah non-muslim, agar mereka kenal Islam, mengetahui kebenaran ajarannya dan berminat mengimani. Inilah yang seharusnya diteladani Muslim masa kini. Lantang bersyiar Islam, tidak justru memadamkannya dengan alasan toleransi.[]

Sumber gambar: Katadata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar