Oleh: Asti Marlanti
Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, politik adalah pemeliharaan urusan umat (rakyat), baik di dalam maupun di luar negeri, berdasarkan ketentuan syariat Islam. Dengan demikian politik dalam Islam adalah aktivitas mengurus dan mengelola urusan masyarakat sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Ini mencakup bagaimana negara Islam (Khilafah) memimpin, mengatur dan melindungi umat dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam negeri (seperti hukum, ekonomi, pendidikan) maupun luar negeri (hubungan diplomatik, jihad, dan sebagainya). Dengan kata lain, politik Islam bukan sekadar permainan kekuasaan, tetapi tanggung jawab syar'i untuk menerapkan dan menegakkan hukum-hukum Allah dalam mengatur kehidupan umat.
Karena itu politik dalam Islam sesungguhnya terikat dengan halal dan haram. Dalam arti, standarnya adalah hukum-hukum Islam, bukan kemanfaatan (kemaslahatan). Sebabnya, sesuatu yang dipandang manfaat (maslahat) oleh manusia belum tentu sesuai dengan ketentuan syariat. Apalagi kemanfaatan (kemaslahatan) dalam pandangan manusia acapkali hanya didasarkan pada pertimbangan akal, bahkan hawa nafsu semata. Sebaliknya, semua perkara yang sesuai dengan ketentuan syariat pasti mewujudkan kemanfaatan (kemaslahatan).
Memang betul di kalangan para ulama fiqih populer kaidah “Al-Mashâlih al-Mursalah”. Intinya, menurut kaidah ini, ada ragam kemanfaatan (kemaslahatan) yang tidak dinyatakan secara eksplisit oleh nas-nas syariat, tetapi bisa dijadikan pertimbangan dalam melakukan amal. Namun demikian, kaidah “Al-Mashâlih al-Mursalah” ini banyak dikritik oleh sebagian ulama fiqih. Di antaranya karena kaidah ini sering justru menjauhkan umat dari nas-nas al-Quran dan as-Sunnah (Lihat: An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah, 1/443-459). Bahkan kaidah ini, khususnya pada saat ini, sering dieksploitasi demi kepentingan tertentu yang bertentangan dengan ketentuan syariat.
Maka dari itu, dengan alasan kemanfaatan (kemaslahatan), misalnya, muncul fatwa tentang kebolehan memilih pemimpin kafir atau fasik; kebolehan wanita menjadi penguasa; kebolehan berkoalisi dengan partai-partai sekuler; tertolaknya Khilafah; dan lain sebagainya, padahal semua itu bertentangan dengan ketentuan syariat tentang keharaman memilih pemimpin kafir/fasik dan penguasa wanita; kewajiban menegakkan Khilafah; dan lain-lain.
Dengan demikian, ketika berpolitik pun wajib menjadikan standar hukumnya sesuai dengan syariat Islam. Halal dan haramnya berdasarkan kepada Al-Qur'an dan As-sunah, bukan yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar