Recent Posts

Beranda

Facebook

Cari Blog Ini

Random Posts

Recent Posts

Header Ads

Popular Posts

Comments

3-comments

Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Ads block

Banner 728x90px

Courses

6-latest-350px-course

Search This Blog

Bagaimana Pandangan Islam Terkait Aborsi Bagi Korban Perkosaan?

Rabu, 14 Agustus 2024




Oleh: U. Diar

Media sosial kembali ramai dengan bahasan mengenai diperbolehkannya aborsi bagi korban pemerkosaan. Salah satu yang mendasari ramainya pembahasan tersebut adalah adanya Permen No 28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No 17 tahun 2023 tentang kesehatan. Di dalamnya terdapat aturan terkait dengan penyelenggaraan kesehatan, salah satunya adalah mengenai aborsi.

Disebutkan dalam pasal 116: "Setiap orang dilarang melakukan aborsi kecuali atas indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidanan seksual lain yang menyebabkan kehamilan." Menyikapi pasal tersebut, banyak pendapat bermunculan di media sosial. Ada yang mendukung, namun ada pula yang mengkritisi. Sebab terkait dengan pelaksanaan aborsi itu sendiri (tanpa melihat penyebab kehamilannya), boleh atau tidak dilakukan pun sebenarnya juga masih ada perbedaan pendapat.

Lantas yang mana yang harus kita ikuti? Maka seharusnya jawabannya adalah mengacu pada pendapat yang bersumber dari aturan yang berasal dari Zat Yang Maha Benar. Zat yang menciptakan manusia sekaligus memberikan pengaturan bagi kehidupan manusia. Zat yang mengetahui dampak jangka panjang dan jangka pendek dari perbuatan ciptaanNya, sehingga menyertakan aturan hidup bagi makhlukNya agar selamat kedepannya. Dan aturan Zat Maha Benar Ini ditemukan dalam syariat Islam.

Sehingga menyikapi topik viral terkait aborsi bagi korban perkosaan ini, caranya adalah dengan merujuk pada pandangan Islam terkait hal ini. Mengutip pendapat dari Ketua Majelis Ulama Indonesia Bidang Fatwa, Asrorun Ni'am Sholeh yang menegaskan MUI sudah menetapkan fatwa aborsi dan fatwa tersebut bisa menjadi acuan guna menyelaraskan adanya kebijakan yang telah dikeluarkan.

Dalam laman resmi MUI, berkaitan fatwa terkait aborsi disampaikan beberapa hal penting sebagai berikut:
1. Melakukan aborsi sesudah peniupan ruh hukumnya adalah haram, kecuali jika ada alasan medis seperti untuk menyelamatkan jiwa Ibu
2. Melakukan aborsi sejak terjadinya pembuahan ovum walaupun belum ditiupkan ruh hukumnya adalah haram, kecuali ada alasan medis atau alasan lain yang dibenarkan oleh syariat Islam
3. Mengharamkan semua pihak untuk melakukan, membantu, atau mengizinkan aborsi

Maka merujuk pada uraian di atas, terkait aborsi pada korban perkosaan ini perlu diperjelas kembali. Pasalnya sebagaimana diketahui bersama, awal mula ide aborsi kembali mencuat tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kebiasaan hidup di Barat. Barat lazim membahas soal aborsi sebab di sana sering bermunculan kehamilan ilegal yang dilatarbelakangi oleh maraknya kasus pergaulan bebas (hubungan seksual tanpa terikat pernikahan).

Sayangnya ketika gaya hidup dunia muslim silau dengan kemegahan dan kemajuan di Barat, soal pergaulan bebas ini luput dari penyaringan. Bahkan Barat justru terang-terangan memasarkan gaya hidup bebas nan liberal ini ke negeri Muslim. Akibatnya kebolehan aborsi pun turut serta terpromosikan sebagai paket lengkap dari ide kebebasan pergaulan tadi. Hal ini menjadikan degradasi moral hingga ancaman kehancuran institusi keluarga pun tak dapat dielakkan. Hingga nilai-nilai akhlak negeri Muslim yang semula berpegang teguh pada syariat Islam, perlahan tapi pasti mulai dimusnahkan.

Padahal dalam pandangan syariat sendiri, aborsi sudah mendapatkan pembahasan yang jelas. Tidak perlu mengikuti pendapat dari Barat. Fuqoha mendefinisikan aborsi sebagai gugurnya janin sebelum sempurnanya masa kehamilan. Bila dilakukan setelah ditiupkan ruh tanpa alasan syar'i, disepakati ulama hukumnya haram. Bila dilakukan sebelum peniupan ruh, maka ada perbedaan pendapat disesuaikan fase pembentukan janin.

Mengutip pendapat dari Syaikh Abdul Qadim Zallum, aborsi yang dilakukan setelah 40 hari atau 42 hari dari usia kehamilan pada saat permulaan pembentukan janin, maka hukumnya adalah haram. Hukumnya dinilai sama dengan hukum aborsi pada saat ruh telah ditiupkan.

Dalam hal seperti ini, maka orang yang melakukan aborsi wajib membayar diyat yang besarnya 1/10 diyat manusia sempurna (setara 10 ekor unta) ataupun memerdekakan budak.

Keharaman aborsi pada saat usia kehamilan 40 atau 42 hari dikarenakan pada masa itu janin dinilai telah memasuki fase penciptaan yang telah tampak badannya dan beberapa organ tubuhnya. Dinilai pada fase itu kemungkinan janin sudah berproses untuk menjadi manusia yang sempurna. Sehingga upaya menghilangkan keberadaannya tidak diperbolehkan.

Rasulullah bersabda yang artinya: "Jika Nutfah atau gumpalan darah telah lewat 40 malam, maka Allah mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk Nutfah tersebut, dia membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dan tulang belulangnya. Lalu malaikat itu bertanya kepada Allah, 'Ya Tuhanku, apakah dia akan Engkau tetapkan menjadi laki-laki atau perempuan?' Maka Allah memberi keputusan." (HR. Muslim)

Rasulullah juga bersabda yang artinya: "Rasulullah Saw memberi keputusan dalam masalah janin dari seorang Bani Lihyan yang gugur dengan satu hurrah (seorang budak laki-laki atau perempuan)." (HR. Bukhari).

Maka dari sini dapat diketahui bahwa kasus pemerkosaan tidak disebutkan sebagai alasan syar'i yang memperbolehkan dilakukannya aborsi. Sehingga upaya yang dilakukan untuk menghindari adanya aborsi pada korban perkosaan itu adalah dengan mencegah adanya perkosaan itu sendiri. Yakni dengan memastikan adanya jaminan perlindungan dan keamanan pada perempuan bagi perempuan. Sayangnya di masa penerapan ide kebebasan kapitalis sekuler saat ini, jaminan keamanan adalah perkara mahal dan langka.

Berbanding terbalik dengan keadaan dimana hukum Islam terkait aborsi dulu diterapkan. Saat itu di tengah masyarakat yang diterapkan adalah hukum Islam, sehingga pergaulan di tengah masyarakat juga ditata oleh hukum Islam. Aborsi yang ada bukan dibebaskan bagi mereka yang salah pergaulan, melainkan bagi yang benar-benar ada kendala medis dalam kehamilan. Dalam masa itu jelas sekali nasab dan kehormatan perempuan terjaga. Maka jika ingin kehormatan perempuan kembali terjaga, seharusnya Islam juga kembali diterapkan bukan? (Dikutip dan diedit dari pemaparan Ustadzah Rif'ah K)

Sumber Gambar: Kaltim Today

Tidak ada komentar:

Posting Komentar