Recent Posts

Beranda

Facebook

Cari Blog Ini

Random Posts

Recent Posts

Header Ads

Popular Posts

Comments

3-comments

Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Ads block

Banner 728x90px

Courses

6-latest-350px-course

Search This Blog

Solusi Pendapatan Negara Di Luar Pajak

Rabu, 15 Mei 2024



Oleh: Tri S, S.Si

Ratusan pedagang pasar tradisional di Trenggalek berunjuk rasa di pendapa kabupaten. Pedagang memprotes lonjakan pajak atau retribusi pasar yang naik 350 persen. Pedagang menuntut pemerintah membatalkan kebijakan itu. Aksi massa dilakukan dengan berjalan kaki dari Pasar Burung menuju Pendapa Manggala Praja Nugraha Trenggalek. Mereka berorasi dan membentangkan sejumlah poster yang berisi keluh kesah dan tuntutan. Salah seorang pedagang pasar Sumarto mengatakan aksi unjuk rasa tersebut dipicu oleh terbitnya Peraturan Daerah (Perda) Trenggalek Nomor 5 Tahun 2023. Dalam perda tersebut pemerintah menaikkan tarif retribusi kios yang awalnya hanya Rp 100/hari/meter kini naik menjadi Rp 350/hari/meter.

Kenaikan pajak daerah tersebut dinilai cukup memberatkan bagi para pedagang, sebab saat ini keberadaan pasar tradisional menghadapi tantangan berat karena harus bersaing dengan pasar modern hingga perdagangan secara online. Kondisi tersebut mengakibatkan omzet pedagang merosot tajam. Pedagang mengatakan kenaikan retribusi idealnya sekitar 30 persen.


Sumarto mengakui retribusi pasar tradisional telah lama tidak mengalami kenaikan, namun pedagang berharap tarif baru yang ditetapkan pemerintah tidak terlampau tinggi dan memberatkan pedagang. Para pedagang meminta pemerintah untuk meninjau ulang kenaikan retribusi tersebut, karena apabila dibiarkan justru dikhawatirkan akan mematikan pedagang pasar tradisional. Tak hanya itu pedagang juga mengancam tidak akan membayar kenaikan retribusi tersebut hingga tuntutan para pedagang dikabulkan (detik.com, 06/05/2024).


Penerapan pajak pada hampir seluruh aktivitas perekonomian, termasuk retribusi pasar merupakan praktik perekonomian khas kapitalisme. Sistem kapitalisme menjadikan pajak sebagai pemasukan utama negara. Hal ini tampak pada besarnya porsi penerimaan pajak dibandingkan dengan penerimaan dari sumber lainnya.

Ironisnya lagi, ketika kebijakan itu dikeluarkan pemerintah tidak mempertimbangkan bagaimana kondisi perekonomian masyarakat yang sangat terpuruk.
Sementara itu hasil uang pajak berupa pembangunan dan layanan publik juga ternyata tidak leluasa dinikmati rakyat. Terbukti, layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan nyatanya makin mahal. Untuk menikmati hasil pembangunan infrastruktur, seperti jalan, itupun jauh dari kata layak.


Miris sekaligus menyedihkan, negara dengan sumberdaya alam yang melimpah tapi masih saja menjadikan rakyat sebagai objek pemalakan. Ibarat tersenyum dalam perih, dagelan apa lagi yang akan terjadi di negara ini? Itulah pikiran yang terus melintas dalam benak saat beredar berita tentang kenaikan pajak retribusi pasar.

Hal ini pun, kebijakan pajak pemerintah membuat sebagian besar masyarakat jadi geram. Kenapa pemerintah tidak berpikir untuk meningkatkan pendapatan negara dari sumber daya alam yang dimiliki yang notabene jumlahnya lebih besar? Seperti pendapatan pengelolaan dari hutan, emas, timah, migas atau dari pengelolaan hasil laut baik ikan maupun garam. Kenapa kemudian malah menyasar hal-hal yang itu memberatkan rakyat menengah ke bawah? Sampai kapan rakyat ini harus terus diuji kesabarannya?

Sungguh, jika kita tahu dengan peringatan dari Rasulullaah SAW tentang pemimpin yang menyusahkan rakyatnya, maka resiko yang harus ditanggung tidaklah main-main karena bukan hanya berimbas di kehidupan dunia tapi juga menyangkut nasibnya kelak di akhirat yang abadi.

Rasulullah SAW pernah bersabda: “Ya Allah, siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia; siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia berlaku lembut kepada mereka, maka berlaku lembutlah kepada dia.” (HR Muslim dan Ahmad). Dalam hadits lain, Rasulullah SAW pernah bersabda: “Barangsiapa yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, kemudian ia tidak mencurahkan kesetiaannya, maka Allah haramkan baginya surga.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Pendapatan: Rakyat yang Dikorbankan

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengusulkan, perubahan nominal materai dari Rp.3000 dan Rp.6.000 menjadi satu nominal saja yaitu Rp.10.000 kepada DPR RI. Jika usulan ini disetujui, artinya tidak akan ada lagi tarif bea materai Rp3.000 dan Rp6.000 yang saat ini berlaku. Langkah ini diambil dengan pertimbangan nantinya dapat meningkatkan penerimaan pemerintah dari bea materai. Ia mengakui bahwa potensi penerimaan negara dari materai tempel saja selama ini mencapai Rp 3,8 triliun.

Selain itu, Sri Mulyani juga mengatakan bahwa batas maksimal pengenaan bea materai Rp 6.000 dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi ekonomi saat ini. Penerimaan negara dari bea materai akan naik menjadi Rp 8,83 triliun dan sekarang Rp 5,06 triliun.

Saat ini, pihaknya juga tengah menyiapkan materai digital yang akan digunakan untuk dokumen digital yang saat ini sudah banyak digunakan masyarakat. Ini tentunya akan menambah potensi penerimaan, tapi karena masih dalam tahap persiapan sehingga tidak bisa dihitung potensinya.

Sementara itu tentang pajak 10%, untuk nasi bungkus dan pempek maka itu untuk meningkatkan penerimaan pendapatan daerah, dalam hal ini Palembang. Badan Pengelola Pajak Daerah (BPPD) Kota Palembang menyatakan bahwa pajak dari sektor pempek sangat besar. Hanya saja selama ini belum digarap secara maksimal. BPPD Palembang bahkan memasang alat pemantau pajak online (e-tax) di sejumlah rumah makanan dan kedai pempek dengan disertai ancaman jika nantinya kasir diketahui tidak menggunakan alat ini saat bertransaksi, maka akan dikenakan sanksi dari instansi terkait. Hal inipun memiliki legitimasi hukum dari Peraturan Daerah Kota Palembang tahun 2002 tentang pajak restoran.

Sedangkan untuk kantong plastik atau kresek selain untuk menambah penerimaan pendapatan negara juga dengan dalih dan asumsi mengurangi 30 persen sampah dan menangani sampah sebesar 70 persen termasuk sampah plastik, demi menyelamatkan lingkungan katanya. Faktanya hari ini Indonesia masih menjadi “destinasi” sampah plastik negara maju seperti AS, Inggris dan Australia.

Sebenarnya jenis pajak “baru” yang terus diminta pemerintah kepada rakyatnya bukanlah hal baru. Sebelumnya sudah ada pajak warteg, pajak THR, pajak bagi pelaku e-commerce, dll. Inilah ironi negara yang kaya potensi sumber daya alam dan manusianya namun harus mengais koin-koin demi peningkatan penerimaan negara dengan menjadikan rakyat sebagai korban.

Pajak Sumber Pendapatan Utama Sistem Kapitalisme

“Hari gini gak bayar pajak? Apa kata dunia”

“Warga negara yang bijak, taat pajak”

Slogan-slogan di atas kerap digunakan untuk menumbuhkan kesadaran membayar pajak. Slogan tersebut seolah menjadi bius yang membuat masyarakat menjadi tak sadar jika sedang didzolimi. Alih-alih mendapatkan kemakmuran seperti yang dijanjikan, faktanya berbanding terbalik dengan realitas kehidupan yang terjadi. Rakyat makin terbebani, kehidupan kian pelik, kesenjangan tak bisa dipungkiri, pekerjaan makin sulit, aspek ekonomi makin terhimpit.

Dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi salah satu pendapatan utama negara. Pajak adalah pos pendapatan yang pasti ada dan menduduki posisi teratas. Dan tentu saja pajak ini dibebankan kepada rakyat. Ia bersifat memaksa sebagaimana yang termaktub dalam UU KUP Pasal 1 ayat (1), “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Target penerimaan dari pajak pun dari tahun ke tahun terus ditingkatkan. Sejak tahun 2002, Pemerintah meningkatkan sumber penerimaan pajak di atas 70%, bahkan tahun 2019 hampir 80%, sedangkan sisanya dari sumberdaya alam.

Penerimaan perpajakan terdiri dari berbagai jenis pajak, salah satunya dengan adanya pajak pusat dan daerah. Pajak pusat yang akan masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), antara lain: Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Materai, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB perkebunan, Perhutanan, Pertambangan).

Selain pajak pusat, rakyat Indonesia juga harus kena pajak daerah. Yang tergolong jenis pajak daerah antara lain pajak restoran, pajak hotel, pajak hiburan, pajak parkir, pajak air tanah, pajak reklame, pajak kendaraan bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor,dan pajak penerangan jalan. Penerimaannya akan masuk ke APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).

Jadi, selama sistem ekonomi negara ini adalah sistem ekonomi kapitalis neo-liberal maka rakyat akan terus diperas dengan pajak layaknya korban drakula yang dihisap darahnya hingga habis. Sementara kekayaan barang tambang dan SDA lain yang berlimpah belum sepenuhnya dikelolah dan dijadikan sumber utama pendapatan negara. Sebaliknya, justru diobral dengan harga murah dan dinikmati perusahaan asing melalui projek privatisasi dan swastanisasi.

Sumber penerimaan pendapatan negara terbesar pun malah “diberikan” kepada swasta asing dan aseng atas nama berbagai kesepakatan. Dengan payung hukum yang memberikan liberalisasi dalam investasi dan privatisasi sektor publik, perusahaan multinasional asing seperti Exxon Mobil Oil, Newmount, Freeport, dan lainnya dengan mudah mengekploitasi kekayaan alam Indonesia dan semua potensi ekonomi yang ada. Akibatnya, pemasukan APBN dari sektor SDA Migas dan non-Migas makin lama makin kecil. Pada saat yang sama, privatisasi sektor publik mengakibatkan kenaikan perkwartal TDL, telepon, dan BBM.

Solusi Pendapatan Negara di Luar Pajak

Langkah berani dan utama yang harus dilakukan bangsa ini jika ingin keluar dari sistem ekonomi kapitalis yang mencekik rakyat adalah pemerintah harus menghentikan privatisasi barang-barang milik umum itu dan mencabut semua undang-undang yang melegalkan penjarahan SDA oleh pihak asing. Dan tentu saja tidak lagi menggunakan sistem ekonomi kapitalis neoliberal tersebut.

Sudah seharusnya, negara ini kembali kepada seruan-Nya. Mengejawantahkan Islam dalam sistem kehidupan secara holistik. Sehingga, keberkahan negara yang diharapkan bukan lagi menjadi ilusi semata Sistem Islam seharusnya menjadi pilihan sebagai sistem yang dijamin kebenarannya oleh Allah subhanahu wa ta'ala Sang pencipta dan secara historis terbukti keberhasilannya dalam menyejahterakan rakyat. Tak lupa, kita harus melepaskan mindset bahwa perekonomian bangsa bergantung pada bangsa lain dengan jalan utang dan investasi asing-aseng yang merugikan.

Islam memiliki cara tersendiri untuk mengatur pendapatan negara. Dalam APBN Islam, sumber pendapatan negara ada dua. Sumber pendapatan tetap dan tidak tetap. Yang termasuk pendapatan tetap yakni : (1) Fa’i [Anfal, Ghanimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; (9) Harta orang murtad

Ada 1 pos tambahan lagi yang bersifat insidental dan extraordinary jika kas negara mengalami kekurangan yakni pos dharibah (pajak). Artinya pajak ternyata bukan sumber pemasukan utama negara. Hanya tambahan saja, itupun dalam keadaan yang sangat khusus dan tertentu dan hanya dibebankan pada para aghniya (orang kaya). Setelah kondisi normal, maka pungutan pajak dihentikan kembali.

Dalam fikih Islam, istilah pajak dikenal dengan dharibah. Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum mendefinisikan pajak dengan, “harta yang diwajibkan Allah kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di baitul mal kaum Muslim untuk membiayainya.” (al-Amwal Fi Daulati al-Khilafah)

Imam Taqiyuddin an-Nabhani menggariskan bahwa pajak hanya dapat ditarik oleh Khalifah ketika ada kewajiban finansial yang harus ditanggung bersama antara negara dan umat, misalnya menyantuni fakir miskin. Jika kewajiban finansial ini hanya menjadi kewajiban negara saja, misalnya membangun jalan atau rumah sakit tambahan yang tak mendesak, pajak tak boleh ditarik.


Solusi hakiki dari persoalan ini ada pada Sistem Islam (Khilafah), pajak (dharibah) adalah pungutan yang dikenakan sekedar untuk menutup selisih kekurangan ketika ada satu pembiayaan yang khas yang sangat mendesak, sedangkan negara tidak bisa mencukupi atau bahkan ekstremnya itu kas negara sedang kosong.
Tersebab hanya untuk menutup selisih ketika kekurangan, maka waktunya temporal, situasional dan dipungut atas warga negara daulah yang kaya saja. Jika tidak ada kekurangan kas, tidak akan ada pungutan pajak.


Pajak yang boleh ditarik dalam Khilafah harus memenuhi 4 (empat) syarat:

(1) diambil dalam rangka membiayai kewajiban bersama antara negara dan umat; (2) hanya diambil dari kaum Muslim saja; (3) hanya diambil dari Muslim yang mampu (kaya), yaitu yang mempunyai kelebihan setelah tercukupinya kebutuhan dasar yang tiga (sandang, pangan, dan papan) secara sempurna; (4) hanya diambil pada saat tidak ada dana di Baitul Mal. (Muqaddimah Ad-Dustur, 2/108-110; Al-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 242).

Terdapat 4 (empat) pengeluaran yang dapat dipenuhi dengan pajak (dharibah) jika tak ada dana mencukupi di Baitul Mal, yaitu:

(1) untuk nafkah fuqara, masakin, ibnu sabil dan jihad fi sabilillah; (2) untuk membayar gaji orang-orang yang memberikan jasa atau pelayanan kepada negara seperti pegawai negara, para penguasa, tentara, dll; (3) untuk membiayai kepentingan pokok yang mendesak (yakni yang menimbulkan bahaya jika tidak ada) seperti jalan utama, rumah sakit utama, jembatan satu-satunya, dll; (4) untuk membiayai dampak peristiwa-peristiwa luar biasa, seperti menolong korban gempa bumi, banjir, angin topan, kelaparan, dll. (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/122).

Ketika kita berbicara masalah pajak, maka jelas bahwa pajak dibolehkan dalam pandangan Islam. Tetapi harus dengan memenuhi aturan dari Asy Syari’. Inilah ketentuan Islam yang datang dari Allah subhanahu wa ta'ala Al Khaliq dan Al Mudabbir yang disampaikan serta dipraktikkan oleh Rasulullah Muhammad dan para khalifahnya setelahnya hingga 13 abad lamanya. Maka bagi seorang muslim, Allah adalah ahkamul hakimin alias sebaik-baik pemberi ketetapan hukum. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bukankah Allah adalah sebaik-baik pemberi ketetapan hukum?” (QS. At-Tiin: 8).

Oleh sebab itu ciri orang yang beriman adalah yang patuh kepada ketetapan (baca: hukum) Allah dan Rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang lelaki yang beriman, demikian pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)

Seharusnya manusia tidak harus lagi bersusah payah membuat aturan lain dari akalnya yang terbatas. Cukup memahami tuntutan dari Allah subhanahu wa ta'ala, RasulNya serta para shahabatnya yang mulia dan bersungguh-sungguh dalam pengamalannya. Wallahu A’lam Bishshawwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar