Recent Posts

Beranda

Facebook

Cari Blog Ini

Random Posts

Recent Posts

Header Ads

Popular Posts

Comments

3-comments

Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Ads block

Banner 728x90px

Courses

6-latest-350px-course

Search This Blog

PPN Naik Lagi dan Lagi

Rabu, 13 Maret 2024




Oleh: Tri S, S.Si


Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian membeberkan seluruh kebijakan pemerintahan saat ini akan kembali dilanjutkan oleh presiden selanjutnya. Hal itu juga termasuk kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) yang dipastikan naik menjadi 12 persen pada 2025. Berdasarkan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen mulai berlaku pada 1 April 2022. Lalu, kembali dinaikkan menjadi sebesar 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025. Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, menuturkan kenaikan tarif ini akan berlanjut karena keputusan masyarakat yang memilih pemerintahan baru dengan program keberlanjutan dari Presiden Joko Widodo. Sebab itu, kebijakan dan rancangan dari program Jokowi akan dilaksanakan pada pemerintahan berikutnya. Sementara itu, dia menjelaskan pemerintah memiliki kewenangan untuk mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5 persen dan maksimal 15 persen. Hal itu bisa dilakukan melalui penerbitan peraturan pemerintah setelah dilakukan pembahasan dengan DPR, sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat 3 UU PPN. Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Febrio Kacaribu, menuturkan pada tahun ini bukan waktu yang tepat untuk menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen. Dia menjelaskan, Indonesia masih mewaspadai kondisi perekonomian global dan perlu menjaga resiliensi atas efek bunga yang cukup tinggi (tirto.id, 08/03/2024).


Sederet protes dan kritik keras dilayangkan berbagai pihak. Baik pakar ekonomi, politik maupun kelompok masyarakat yang tergabung dalam MUI dan ikatan pedagang. Benang merahnya sama. Tak pro rakyat. Harga sembako dan jasa otomatis akan naik, sedangkan daya beli rakyat rendah. Efeknya akan menjatuhkan rakyat ke jurang kemiskinan yang lebih dalam. Puluhan juta rakyat kelas bawah semakin terjepit. Pemerintah tutup mata telinga dengan beratnya beban ekonomi rakyat. Kebijakan yang justru memperparah krisis ekonomi. Serta kontraproduktif dengan upaya pemulihan ekonomi. Membaca kebijakan pajak, setiap ‘inovasi’ pemerintah dalam menggenjot pajak, alasan serupa di atas selalu dikemukakan. 


Ke depan, nampaknya ‘inovasi’ pajak akan diberlakukan sampai lubang tikus. Karena dalam kacamata pemerintah hari ini, pajak adalah titik darah penghabisan sumber anggaran negara. Tak peduli dengan berbusanya kritikan rakyat. Tak empati dengan mengalirnya darah dari perasan keringat rakyat. Pajak sentra sumber anggaran adalah konsekuensi bagi negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Paham liberalisasi ekonomi, menjadikan kepemilikan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah ruah atau aset umum strategis lainnya di tangan badan usaha/korporasi. Para pemilik kapital besar dari swasta, asing maupun aseng lah yang menahkodai badan usaha/korporasi tersebut. Orientasinya hanya pada kepentingan bisnis (komersialisasi), yang berusaha meraup profit sebesar-besarnya. Bukan pada pelayanan atau pemenuhan kebutuhan rakyat. Pemerintah hanya berperan sebagai regulator/ fasilitator. Terbukti pemerintah hanya mendapatkan secuil 'jatah' dari anggaran APBN. 



Padahal anggaran negara tak akan pernah tercukupi hanya dengan mengandalkan ‘jatah’ tersebut. Untuk tetap menjaga keberlangsungan denyut kehidupan negara, mau tak mau harus ada sumber anggaran lain. Maka pajak lah yang menjadi opsi pertama dan utamanya. Ketimpangan ekonomi semakin parah, dengan paradigma ekonomi kapitalisme dalam pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Yaitu pemenuhannya diserahkan pada mekanisme pasar dan menolak adanya intervensi pemerintah di dalamnya. Sehingga kebutuhan pokok rakyat jadi ladang komersialisasi menggiurkan bagi pemilik modal.


Apalah guna APBN dan pertumbuhan ekonomi tinggi, jikalau banyak rakyat yang busung lapar dan stunting? Apalah guna gedung mewah sekolah perguruan tinggi, jikalau banyak rakyat yang butu huruf dan putus sekolah? Apalah guna fasilitas lengkap dan canggih rumah sakit, jikalau banyak rakyat yang meregang nyawa tak punya biaya berobat ?


Tak terbantahkan lagi, penerapan sistem ekonomi kapitalisme pangkal kesengsaraan dan penderitaan rakyat. Negara yang menggantungkan diri pada pajak dan berlepas tangan dalam pemenuhan kebutuhan pokok rakyat hakikatnya adalah negara sakit. Apabila kezaliman pajak di puncaknya dan jurang kaya miskin menganga lebar, ambruknya negara adalah keniscayaan. Tak layak sistem ini dipertahankan apalah lagi diagungkan.


Penerapan syari’at Islam kaffah adalah obat penawarnya. Karena Islam sebagai aqidah siyasiyah memiliki seperangkat aturan yang syamil (menyeluruh) dan kamil (sempurna). Termasuk aturan dalam ekonomi. Dalam Islam sumber anggaran utama negara diperoleh dari pengelolaan kepemilikaan umum dan negara. Kepemilikan umum dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW, yang artinya: Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR.Abu Dawud dan Ahmad).


Yang dimaksud padang adalah tanah beserta isi perutnya yang mengandung SDA. Seperti batubara, minyak bumi, emas, tembaga dan sebagainya.Yang dimaksud air adalah air yang mengalir seperti air hujan, laut, sungai, danau, rawa dan sebagainya. Dan yang dimaksud api adalah berbagai sumber energi alami sepert panas bumi, gas, tenaga surya, dan sebagainya. Kepemilikan negara diperoleh dari fa’i, ghanimah, jizyah, kharaj, ‘usyur, khumus, rikaz dan zakat dan sebagainya. Dalilnya termaktub dalam banyak ayat Al Quran dan hadits mulia.


Dalam kitab Nizhamul Iqtishadi, Syech Taqiyuddin an Nabhani menjelaskan tata kelola milik umum dan negara. Yaitu negara mewakili rakyat mengatur pengelolaan milik umum. Semua rakyat bisa mengakses dan mendapatkan manfaat secara adil dari milik umum tersebut.


Diharamkan pengelolaan milik umum dan negara diserahkan pada individu atau badan usaha (baik swasta, asing atau aseng). Pengelolaan oleh negara bukan bervisi pada keuntungan atau menghindari kerugian, tapi pelayanan. Hasil dari pengelolaan oleh negara digunakan untuk kemakmuran rakyat. Salah satunya menjamin pemenuhan kebutuhan pokok per kepala rakyat secara menyeluruh.


Mekanisme pemenuhan kebutuhan pokoknya ada secara langsung (pendidikan, kesehatan, keamanan), melalui penyediaan dana, sarana, dan prasarana dari negara. Ada secara tak langsung (sandang, pangan, papan), melalui pembebasan pengelolaan kepemilikan individu sesuai ketentuan syari’at. Juga melalui distribusi kekayaan non ekonomi seperti zakat, shadaqah, infaq, hibah, iqtha, subsidi dan sebagainya. Jadi mustahil kebutuhan pokok akan dipajaki dalam sistem Islam. Apabila dilakukan oleh negara termasuk dosa dan akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Sesuai dengan hadits Rasulullah SAW, yang artinya: Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya  (HR. Bukhari).


Sumber anggaran dari kepemilikan umum dan negara, sebenarnya sudah mencukupi dalam memenuhi urusan rakyat. Tak diperlukan lagi pajak. Tapi apabila kas negara kosong (dalam keadaan darurat), diperbolehkan negara memungut pajak. Semata-mata agar negara tetap menunaikan pelayanan kebutuhan pokok rakyat. Pungutannya pun hanya ditujukan pada warga negara yang kaya dan muslim saja. Bukan rakyat yang tak mampu. Apabila kas negara sudah membaik dan pulih kembali, kebijakan pajak dihapus dan tak diberlakukan lagi. Ini menunjukkan bahwa pajak dalam Islam hanya insidental saja, bukan sumber utama anggaran negara. Wallahu a’lam bish-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar