Recent Posts

Beranda

Facebook

Cari Blog Ini

Random Posts

Recent Posts

Header Ads

Popular Posts

Comments

3-comments

Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Ads block

Banner 728x90px

Courses

6-latest-350px-course

Search This Blog

Pembangunan Infrastruktur Masif, Benarkah untuk Rakyat?

Sabtu, 09 Maret 2024



Penulis: Netty Ummu Hasna
Pegiat Literasi 

Demi memenuhi ambisi para investor dan pihak-pihak terkait, pemerintah terus getol membangun infrastruktur yang sebenarnya tidak berdampak secara langsung pada kesejahteraan masyarakat luas. 

Seperti rencana pembangunan rest area di kawasan Jalan Lintas Selatan (JLS) Tulungagung. Menurut Pemkab Tulungagung, tujuan pembangunan rest area ini agar keberadaan pedagang kaki lima (PKL) di area tersebut bisa tertata dengan baik. 
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Tulungagung, Santoso menjelaskan ada tiga titik lokasi yang direncanakan akan dibangun rest area JLS. Ketiga lokasi itu mempunyai luasan yang berbeda-beda, satu titik seluas 2 Hektare (Ha), satu titik seluas 3 Ha dan satu titik lagi seluas 5,2 Ha. Untuk titik yang luasannya dibawah 5 Ha, untuk pemanfaatannya hanyalah dengan melakukan perjanjian kerja sama (PKS) dengan pihak perhutani. Sedangkan titik yang luasan-nya diatas 5 Ha, harus dibuatkan dokumen AMDAL terlebih dahulu sebelum digunakan.

Namun pada proses pembuatan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) di salah satu titik yang direncanakan sebagai rest area tersebut ternyata ada sedkit kendala. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) sebagai instansi pengelola di daerah tidak bisa serta merta membuat AMDAL begitu saja. Pembuatannya akan dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan pengajuan dari DLH Tulungagung.

Karena opsi itu, salah satu dampaknya adalah biaya pembuatan AMDAL yang mungkin saja bisa membengkak. Jika plan awal pembuatannya membutuhkan anggaran sebesar Rp 250 juta, bisa saja angkanya bertambah jika prosesnya berbeda.

“Tentu pembuatan AMDAL yang diserahkan ke KLHK membuat anggarannya semakin besar,” katanya. Meski satu titik terjadi masalah, Santoso memberi kabar baik bahwa dua lokasi rest area lainnya dalam waktu dekat mungkin saja bisa dibangun. (Radar Tulungagung, 1 Maret 2024)

Sementara itu, meski masih menuai persoalan dan pro kontra, rencana pembangunan jalan tol Kediri-Tulungagung disinyalir akan segera dimulai prosesnya pada pertengahan tahun 2024 ini. Pembangunan jalan tol ini merupakan proyek lanjutan dari pembangunan Bandara Dhoho Kediri yang telah selesai dibangun dan digadang-gadang akan mempermudah akses menuju bandara. 

Proyek yang mencapai nilai investasi Rp10,47 triliun ini secara resmi akan digarap oleh PT. Gudang Garam, Tbk. melalui anak usahanya PT. Surya Sapta Agung Tol melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) atas prakarsa pihak swasta. 

Selain itu, pembangunan jalan tol Kediri-Tulungagung ini juga akan mendapatkan penjaminan dari PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) atau PII. Direktur Utama PT PII M. Wahid Sutopo menyampaikan masa penjaminan proyek jalan tol Kediri–Tulungagung berlangsung 15 tahun dan eksposur penjaminan sebesar Rp1,78 triliun. Penjaminan mencakup keterlambatan pengadaan tanah, keterlambatan penyesuaian tarif, serta politik temporer dan politik permanen.

”Penjaminan yang diberikan oleh PT. PII tersebut dimaksudkan untuk memberikan kepastian dan kenyamanan bagi investor dalam berinvestasi pada proyek Jalan Tol tersebut,” kata Sutopo dalam keterangan resmi, Rabu, 28 Februari 2024. (Infobank news, 28 Februari 2024)

Demi Kesejahteraan Rakyat?
Pemerintah kerap berdalih bahwa pembangunan infrastruktur dipandang sebagai kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, pembangunan infrastruktur tersebut dilakukan demi kepentingan rakyat dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Benarkah demikian?

Faktanya, pembangunan infrastruktur didominasi oleh proyek prestisius yang mengejar kemewahan dan kebanggaan, bukan proyek infrastruktur yang benar-benar dibutuhkan rakyat. Apalagi proyek infrastruktur tersebut berbayar (seperti jalan tol misalnya), sehingga rakyat akan bisa menikmatinya dengan biaya yang nyatanya tidak murah.

Di sisi lain, banyak infrastruktur yang dibutuhkan rakyat, tetapi tidak tersedia. Jalan rusak, jalan berlubang, jalan belum diaspal, jembatan penghubung yang vital, gedung sekolah mau rubuh, dll., menjadi fenomena yang kontras dengan gemerlap pembangunan proyek prestisius.

Selain itu, pembangunan infrastruktur yang masif dan ambisius justru  banyak merugikan rakyat dan berdampak pada rusaknya lingkungan. Pembebasan lahan demi proyek-proyek tersebut mengakibatkan rakyat harus kehilangan mata pencarian dan sumber air bersih. Pembangunan yang tidak dibarengi dengan analisa dampak lingkungan mengakibatkan alam menjadi rusak dan menimbulkan bencana alam seperti tanah longsor, banjir dll. Lagi-lagi rakyat yang akan dirugikan.
Dengan demikian, pembangunan infrastruktur tidak ditujukan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi hanya menguntungkan oligarki saja. Kalaupun berdampak positif pada ekonomi rakyat hanya segelintir saja itupun nilainya juga tidak seberapa, seperti keberadaan pedagang kaki lima misalnya yang banyak bermunculan.   

Inilah realitas pembangunan infrastruktur dalam sistem kapitalisme demokrasi. Kapitalisme menggariskan bahwa pembangunan ditujukan untuk meraih pertumbuhan ekonomi, sebuah indikator kesejahteraan palsu yang tidak mencerminkan kesejahteraan hakiki rakyat. Sistem ini juga yang memberi peluang para oligarki menguasai ekonomi dan melegalkan perampokan kekayaan alam milik rakyat dan perampasan ruang hidup.
Infrastruktur dalam Islam 
Pembangunan infrastruktur di dalam sistem Islam dibangun atas paradigma yang jauh berbeda dengan sistem kapitalisme.

Pertama, dalam Islam, penyediaan dan pengelolaan infrastruktur publik merupakan tanggung jawab negara. Arahnya adalah untuk memberikan kemaslahatan umum, bukan malah melayani kepentingan pemilik modal. Regulasinya pun ditetapkan dengan berpijak pada kesesuaian terhadap hukum syarak.

Rasulullah saw. bersabda, “Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengurus dan ia bertanggung jawab pada rakyat yang ia urus.” (HR Bukhari).

Sejarah menunjukkan bahwa pada masa Kekhalifahan Utsmani, pengelolaan infrastruktur publik menjadi tanggung jawab negara. Sebagai contoh, Alan Mikhail dalam bukunya, Nature and Empire in Ottoman Egypt, menjelaskan pada masa itu kanal-kanal di Mesir dikelola negara untuk memberikan kemaslahatan masyarakat (al-maslaha al ‘amma).

Kedua, konsep pembangunan infrastruktur publik dalam Islam berada di bawah tanggung jawab khalifah. Ini menjadikan kemaslahatan masyarakat sebagai prioritas utama. Secara finansial tidak akan membebani keuangan negara karena ditopang dengan sistem ekonomi Islam.

Sistem ekonomi Islam, dengan APBN syariahnya, memiliki sumber pendanaan secara garis besar berasal dari beberapa pos, yakni (1) harta milik umum yang dikelola negara, seperti barang tambang, dsb.; (2) fai, kharaj, ganimah, jizyah, dan harta negara lainnya; (3) harta zakat; serta (4) sumber pemasukan temporal, seperti infak, wakaf, dsb.

Dengan perolehan ini, tidak sulit untuk mewujudkan pembiayaan pembangunan infrastruktur berlangsung berkelanjutan (sustainable infrastructure) yang memperhatikan aspek lingkungan.
Ketiga, pembangunan infrastruktur diarahkan untuk mewujudkan visi penciptaan manusia. Allah Swt. menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi dan untuk memakmurkan bumi (lihat QS Al-Baqarah: 30 dan QS Hud: 61).
Walhasil, pembangunan dan pengelolaan infrastruktur diarahkan untuk menjadikan manusia mampu mengemban kedua hal tersebut. Secara otomatis, keselamatan lingkungan akan menjadi perhatian karena merupakan bagian dari upaya manusia untuk memakmurkan bumi.
Keempat, pelaksanaan pembangunan infrastruktur publik akan melibatkan para tenaga ahli. Perencanaan infrastruktur dibangun mengikuti tata ruang kota yang sudah direncanakan dengan matang.

Aspek keberlanjutan menjadi perhatian, seperti misalnya penerapan prinsip sirkular ekonomi untuk keberlanjutan lingkungan melalui 9R (refuse, rethink, reduce, reuse, repair, refurbish, remanufacture, repurpose, and recycle). Semua ini dijalankan dengan paradigma utama adalah demi terealisasinya keberlanjutan dan kemaslahatan umum, bukan untuk pencapaian profit kapital.
Kelima, sistem pendidikan berbasis Islam yang diterapkan negara dan kondisi masyarakat yang bertakwa, menjadikan masyarakat turut bertindak sebagai pengontrol yang melakukan muhasabah (introspeksi) kepada penguasa. Masyarakat juga akan menjadi pihak yang melakukan kontrol dan penjagaan terhadap infrastruktur yang telah terbangun.
Walhasil pembangunan infrastruktur yang menyejahterakan rakyat hanya bisa terwujud dengan mengambil syariat Islam sebagai jalan atau solusinya.  Bukan hanya kesejahteraan namun rahmatan lil alamiin juga akan terwujud dan bisa dirasakan oleh seluruh manusia dan alam seisinya. Wallahualam bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar