Recent Posts

Beranda

Facebook

Cari Blog Ini

Random Posts

Recent Posts

Header Ads

Popular Posts

Comments

3-comments

Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Ads block

Banner 728x90px

Courses

6-latest-350px-course

Search This Blog

Benarkah Cukai Minuman Manis Menjadi Solusi atas Banyaknya Kasus Diabetes?

Selasa, 12 Maret 2024



Oleh: Ummu Faza

Dikutip dari laman CNNIndonesia.com, disinyalir bahwa pemerintah bakal mulai mengenakan cukai pada produk minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) pada tahun 2024 ini. Minuman berpemanis yang kena cukai ini dikenakan terhadap minuman produk MBDK yang mengandung gula, pemanis alami, ataupun pemanis buatan.

Rencana penetapan cukai minuman manis dikabarkan terkait dengan upaya untuk mengurangi resiko penyakit tidak menular, seperti diabetes. Pemerintah beranggapan dengan menarik cukai pada MBDK, akan mengurangi konsumsi masyarakat terhadap minuman berpemanis, sehingga dapat menekan dan mencegah penyakit diabetes. 

Namun faktanya, apakah dengan menerapkan cukai tersebut adalah solusi untuk mencegah diabetes? Tentu hal ini membutuhkan upaya mendasar dan menyeluruh.  Penetapan cukai pada minuman kemasan tidak serta merta menghalangi masyarakat mengurangi minuman manis.  Apalagi dalam kondisi tingginya kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan serta rendahnya literasi kesehatan dan keamanan pangan, justru membuka celah adanya minuman manis yang tidak terkontrol di tengah masyarakat.

Di sisi lain, penetapan cukai merupakan cara negara kapitalisme mencari sumber pajak yang merupakan satu-satunya pendapatan negara, serta akan menjadi sesuatu yang menjanjikan bagi negara untuk meraup keuntungan dari rakyatnya. Sungguh ini adalah pemalakan untuk rakyat dan dana segar bagi negara. Beginilah sistem kapitalisme, negara ibarat tujjar (pedagang) sementara rakyat adalah pembeli, yang seakan-akan harus membeli sebuah proses kebijakan dengan amat mahal.

Terlebih daripada itu, pada faktanya kebijakan ini pun masih terbentur dengan banyaknya persoalan terkait kepatuhan dan besarnya peluang penyelewengan pajak.  Dengan demikian makin menimbulkan keraguan akan keberhasilannya. Apalagi pelaku industri tentu yang paling dirugikan di tengah terseok-seoknya berjuang dan bertahan dalam lesunya pendapatan. Mereka juga dihadapkan dengan pajak yang akan menambah pengeluaran.

Sejatinya inilah buah dari sistem kapitalis, dengan jargon "tidak ada makan siang gratis. Itulah yang negara terapkan peda rakyatnya. Karena setiap kebijakan yang di berlakukan bukan semata-mata untuk kesejahteraan rakyat namun atas dasar manfaat.

Beda halnya dengan sistem Islam. Islam mewajibkan negara menjaga kesehatan rakyatnya.  Negara akan melakukan berbagai upaya menyeluruh dan mendasar untuk mencapai derajat kesehatan yang prima, baik melalui pembuatan kebijakan dan aturan dalam industri, penyediaan sarana kesehatan  yang memadai  maupun meningkatkan edukasi masyarakat dengan sungguh-sungguh. Baik tentang pentingnya kesehatan maupun keamanan pangan dalam prinsip halal dan thayyib. 

Di sisi lain, negara dalam Islam tidak menjadikan penarikan pajak sebagai cara dalam mengatur distribusi barang dalam negeri. Karena kas negara bukan diperoleh dari pajak, melainkan dari pos-pos yang sudah ditentukan oleh syara'. Seperti harta kharaj, jizyah, kepemilikan umum, dan lain sebagainya. Tentunya dari berbagai sumber tersebut negara tidak akan pusing mencari dana untuk kesejahteraan rakyatnya. Dan itu semua akan terwujud jika sistem Islam secara kafah diterapkan, dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyyah.

Wallahu a'lam bish shawaab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar