Recent Posts

Beranda

Facebook

Cari Blog Ini

Random Posts

Recent Posts

Header Ads

Popular Posts

Comments

3-comments

Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Ads block

Banner 728x90px

Courses

6-latest-350px-course

Search This Blog

Paradoks Sikap Muslim Terhadap Palestina dan Rohingya di Pergantian Tahun

Sabtu, 13 Januari 2024



Oleh:  apt. Siti Nur Fadillah, S.Farm.

Palestina Yes, Rohingya No. Tak disangka sikap muslim Indonesia kini syarat bias terhadap saudara seimannya. Pilih kasih menyatakan pembelaan pada dua etnis muslim. Ketika Palestina meradang diserang Israel, umat Islam berbondong-bondong mengirim dukungan. Namun, ketika Rohingya meminta perlindungan, kecaman dan pengusiran yang mereka terima. Berbagai narasi kebencian terus merebak, fitnah-fitnah tentang buruknya perangai Rohingya, hingga penggalangan penolakan dan pengusiran yang masif di sosial media tak dapat dibendung. Puncaknya adalah insiden pengusiran pengungsi Rohingya oleh mahasiswa Aceh yang menyisakan trauma mendalam. “Saat mahasiswa datang beramai-ramai menyerbu kami, melempar semua pakaian, tas, dan segala macam keatas kami, padahal di dalam tas itu ada Al-Quran. Kami sangat ketakutan dan kesakitan, hingga menangis. Karena bersaudara seiman, saya tidak menyangka mereka memperlakukan kami dengan tidak manusiawi seperti itu,” kata Rohimatun (27) salah satu pengungsi. 

Tak hanya itu, setelah tiga bulan penuh Gaza ‘dipanggang’ Zionis, umat islam kini juga tampak abai dengan isu Palestina. Berbeda dengan awal-awal penyerangan, sikap umat semakin kendor dalam menyuarakan pembelaan, juga pemboikotan produk mulai melonggar. Apalagi makin kuatnya pembungkaman oleh Meta, pada akun yang menunjukkan pembelaan terhadap Palestina. Fokus umat kini teralihkan pada gegap gempita perayaan tahun baru. Nyata sudah paradoks kaum muslim dalam bersikap. Pesta kembang api di tengah berkecamuknya perang di Gaza, jumlah korban genosida meningkat, dan penderitaan muslim Rohingya adalah satu bentuk abainya kaum muslim terhadap urusan umat. Miris bukan?

Racun Nasionalisme di Negeri Muslim

Sejatinya masalah Palestina dan Rohingya sama-sama merupakan tanggung jawab muslim di seluruh dunia. Tidak ada yang lebih ditinggikan, tidak ada yang ditinggalkan. Sebab seperti dalam hadits Rasul, “Orang-Orang mukmin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuhnya ikut merasakan tidak bisa tidur dan panas (turut merasakan sakitnya)” (Shahih Muslim 4685). 

Namun, hal ini tidak berlaku pada sistem demokrasi. Prinsip fashluddin ‘anil hayat yang dijunjung tinggi demokrasi, tak lagi memperdulikan ajaran islam seperti ini. Ajaran islam hanya dianggap teori belaka yang cukup dibaca tanpa harus diamalkan.

Apakah kita sudah lupa, di mana negara kampiun sistem kufur ini? Negara adidaya yang demi melanggengkan kekuasaannya telah memutilasi Khilafah Utsmani dan melahirkan sekat-sekat nation state. Menyebarkan racun nasionalisme yang menyebabkan negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia, tidak berkutik untuk membela saudaranya di Palestina dan Rohingya. Tidak hanya itu, cinta kekuasaan juga turut menghalangi para penguasa negeri muslim untuk bersatu atas nama akidah Islam. 

Dalam kasus Rohingya misalnya, pemerintah daerah maupun pusat benar-benar lamban mengambil keputusan. Dengan dalih Indonesia tidak ikut meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, pengungsi dari Myanmar terlantar di penampungan. Saling lempar tanggung jawab pun tidak terelakkan.  Pemerintah Daerah Aceh melalui Ketua Komisi I DPR Aceh, meminta agar tidak membebankan penanganan pengungsi luar negeri ke pemerintah daerah. Ia melanjutkan, UNHCR dan IOM harus segera merespon kondisi ini, kemudian Pemerintah Pusat harus membentuk Satgas Pengungsi (Pemerintah Aceh, 11/12/2023).

Sedangkan Pemerintah Pusat juga sangat lamban mengambil keputusan. Semua harus senantiasa menunggu keputusan organisasi internasional yang juga sangat lamban memberi keputusan. Kalaupun Pemerintah Pusat berani memberi keputusan besar untuk membantu pengungsi Rohingya, tindakan ini melanggar perjanjian internasional. Namun, jika Pemerintah mengembalikan pengungsi ke Myanmar, Amnesty Internasional akan menyebut Pemerintah Indonesia melanggar HAM. 

Bersatunya Umat Islam dalam Khilafah untuk Menumpas Sekat

Abainya umat muslim dan pemerintah terhadap permasalahan Rohingya dan Palestina, telah menunjukkan betapa buruknya racun nasionalisme. Menumbuhkan sikap egoisme dan ‘bodo amat’ terhadap permasalahan di luar state sendiri. Tidak peduli asalkan negara sendiri aman, tentram, tidak terganggu. Meskipun sudah jelas jika permasalahan tersebut menyangkut keselamatan hidup sesama umat Islam. 


Maka dari itu, solusi paling mendasar dari krisis Rohingya dan Palestina adalah persatuan seluruh negeri-negeri muslim dalam satu kepemimpinan global Khilafah Islamiyyah. Bersatunya seluruh negeri muslim atas dasar aqidah islamiyyah bukan hanya akan mendulang kekuatan tetapi juga kedigdayaan islam. Perasaan bak satu tubuh tak lagi dipisahkan oleh kawasan teritorial, bendera, ataupun identitas negeri. Khilafah akan menjamin keamanan seluruh warga masyarakatnya, setetes darah pun tidak akan dibiarkan sia-sia. 

Pemimpinan dalam khilafah juga akan menjadi tameng, sebab mencegah musuh menyerang/menyakiti kaum muslim, melindungi keutuhan Islam, disegani masyarakat, dan musuh takut terhadap kekuatannya. Seperti dalam Hadis Rasulullah, “Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/adzab karenanya.” [Hr. Bukhari dan Muslim]. 

Sebagaimana kisah Zionis Yahudi (1901) yang datang ke Istanbul untuk menemui Khalifah Abdul Hamid II. Mereka datang untuk membeli tanah Palestina dengan tawaran yang luar biasa. 150 juta pound di masa Utsmani, setara dengan minimal 305 triliun rupiah di masa sekarang. Berikut bonus membangun Universitas Utsmani dan kapal perang.

Meski saat itu Utsmani berada pada kondisi yang turun, tetapi jawaban Khalifah Abdul Hamid II kepada Herzl tetap teguh tak terpengaruh. “Nasihati Dr. Herzl, agar jangan sekali-kali lagi meneruskan proyek ini. Aku tak bisa berikan tanah itu, tanah itu bukan milikku. Tanah itu milik ummat, yang telah berjihad dan telah menyiraminya dengan darah mereka, yahudi silakan simpan uang mereka. Jika Khilafah Islam dimusnahkan pada suatu hari, maka mereka boleh mengambil tanah Palestina tanpa membayar. Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku, daripada tanah itu dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islam. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup."

Maka dari itu, sudah jelas bahwa Khilafahlah satu-satunya pelindung umat, yang menjaga agama, kehormatan, darah, dan harta mereka. Khilafahlah yang menjadi penjaga kesatuan persatuan, dan keutuhan setiap jengkal wilayah. Yang akan menjadi jaminan tidak akan ada lagi muslim yang tertindas dan tertinggal. Wallahua’lam bishawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar