Recent Posts

Beranda

Facebook

Cari Blog Ini

Random Posts

Recent Posts

Header Ads

Popular Posts

Comments

3-comments

Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Ads block

Banner 728x90px

Courses

6-latest-350px-course

Search This Blog

Hutang Semakin Menjulang, Buah Kapitalisme Yang Mencengkram

Jumat, 12 Januari 2024




Oleh: Japti Ardiani

Kini hutang negara-negara berkembang menggelembung. Bank Dunia atau World Bank pun mengingatkan risiko utang yang semakin menggunung dikhawatirkan akan membuat negara tersebut mengalami krisis, khususnya negara yang perekonomiannya belum stabil.
Lantas bagaimana dengan Indonesia yang utangnya juga membesar?
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai, sejauh ini rasio utang Indonesia masih terbilang cukup aman. Rasio utang pemerintah saat ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 38,11%.

Rasio utang tersebut menurun dibandingkan akhir tahun 2022 dan berada di bawah batas aman 60% PDB sesuai Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Untuk diketahui, utang pemerintah hingga November 2023 telah mencapai Rp 8.041,01 triliun. Posisi utang ini meningkat dari bulan sebelumnya yang sebesar Rp 7.950,52 triliun.


Meski masih aman, Eko mewanti-wanti agar pemerintah menggunakan utang tersebut untuk  pembangunan yang lebih produktif. Hal agar lonjakan utang pemerintah bisa berdampak luas bagi masyarakat luas, hingga akhirnya bisa mampu mendorong pertumbuhan ekonomi domestik.
“Tumpuan Indonesia saat ini di indikator makronya, meskipun ini tetap harus jadi early warning, sejauh ini relatif rasio utang msh cukup aman. Hanya saja harus diupayakan pemanfaatan utang lebih produktif,” tutur Eko kepada Kontan.co.id, Kamis (28/12).

Kemudian, Eko menambahkan pemerintah juga perlu memperhatikan PT Waskita Karya Tbk (WSKT). Lantaran sempat menjadi sorotan karena tidak bisa membayar utang obligasi yang jatuh tempo pada 6 Agustus 2023, senilai Rp 135,5 miliar. Jumlah itu belum termasuk bunga tetap 10,75% per tahun. (Kontan.co.id, 29/12/2023)

Berbicara masalah hutang Negara kita, ada pernyataan yang menggelitik yaitu Menkeu tidak mau menyamakan riba dengan pinjaman atau utang. Menurut dia, al-Quran juga membolehkan utang-piutang.
 "Yang disebut praktisi pinjaman, tetapi yang masih prudent. Dalam al-Quran pinjam-meminjam itu boleh, tetapi harus diadministrasi, dicatat dengan baik, digunakan secara hati-hati," katanya.

Pernyataan Menkeu Sri Mulyani sama sekali tidak berdasar. Utang-piutang yang memberikan manfaat bagi pihak pemberi utang adalah riba dan haram, tidak memandang apakah ada eksploitasi atau tidak oleh pihak pemberi utang. Sekecil apapun manfaat atau keuntungan berupa materi atau jasa yang dihasilkan dari utang, baik secara paksa atau pun sukarela, adalah riba nâsi’ah yang jelas keharamannya.

Dan Kenyataannya, rezim ini tercatat dalam sejarah sebagai rezim yang paling banyak berutang. Kenaikannya lebih dari tiga kali lipat dibandingkan dengan awal berkuasa pada tahun 2014.

Tiap tahun angka hutang Indonesia tidak semakin turun malah semakin naik, dan pastinya hal itu akan di ikuti dengan bunga yang semakin banyak di bayarkan juga.

Bunga utang alias riba yang harus dibayar oleh Pemerintah juga mencekik. Bunga utang yang harus dibayar negeri ini berjumlah Rp 437,4 triliun pada tahun 2023 dan Rp 497,32 triliun pada tahun 2024. Untuk bayar bunganya saja sudah menghabiskan 14,4% APBN.

Besaran utang dan bunganya yang harus dibayar oleh negara jauh lebih besar dibandingkan dengan subsidi untuk rakyat. Subsidi LPG, BBM, BLT, dsb, misalnya, hanya berjumlah Rp 146,9 triliun. Bunga utang itu juga lebih besar dibandingkan dengan anggaran kesehatan untuk rakyat yang hanya berjumlah Rp 187,5 triliun. Selama ini Pemerintah mengklaim subsidi rakyat menjadi beban APBN. Padahal utang dan bunganyalah yang menjadi beban utama APBN.

Selain itu, pembangunan yang dibiayai oleh utang ribawi atau pun investasi asing tidak berdampak pada ekonomi rakyat banyak. Contohnya pembangunan IKN, Kereta Cepat Jakarta-Bandung, sejumlah bandara dan ruas tol. Malah menurut Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, ada 58 proyek Pemerintah Jokowi yang terancam mangkrak. Nilainya mencapai Rp 420 triliun!

Utang luar negeri juga sudah terbukti banyak menjerat kedaulatan suatu negara. Negara-negara seperti Zimbabwe, Sri Lanka, Maladewa, Uganda, Kenya dan Pakistan adalah sejumlah negara yang kolaps akibat debt trap (perangkap utang) luar negeri. Beberapa negara tersebut harus menyerahkan pelabuhan dan bandara strategis mereka pada negara pemberi utang, yakni Tiongkok, yang juga menjadi salah satu pemberi utang pada Indonesia.
Akankah kita akan tetap bertahan dengan aturan ini?

Dimana aturan atau sistem Sekuler - Kapitalisme hanya akan memberikan kesengsaraan untuk masyarakat. Para Pengusaha lah yang tetap akan berkuasa dan mengokohkan posisinya. Sementara rakyat lah yang menjadi "tumbal" agar keinginan mereka bisa terpenuhi dan langgeng. 

Bila para Koorporasi berkuasa dan tetap pada ambisi nya maka kesejahteraan rakyat   tidak akan bisa terwujud selama Indonesia masih menerapkan sistem ekonomi Kapitalisme. Dimana dalam Sistem ini menghalalkan riba serta membolehkan swasta lokal dan asing aseng mengeruk sumber daya alam (SDA) milik rakyat. Hari ini banyak SDA justru dinikmati oleh swasta dan asing, bukan rakyat. Sekitar 90 persen pertambangan dan pengolahan nikel dikuasai asing. Sektor batubara hanya 12 persen dikelola oleh BUMN. Di sektor migas, Pertamina hanya mengelola 30% blok migas. Sisanya dikuasai oleh asing.

Sistem ekonomi Kapitalisme pula yang menyebabkan riba merata ke seluruh negeri. Bahkan orang yang tidak bermuamalah ribawi pun terkena debunya sebagaimana peringatan Nabi saw.:

Akan datang suatu zaman kepada manusia. Saat itu mereka memakan riba. Kalaupun ada orang tidak memakan riba secara langsung, dia akan terkena debunya (HR an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan al-Hakim).

Rusaknya ekonomi negeri ini dan jeratan utang ribawi yang mencekik tidak akan selesai hanya dengan pergantian kepemimpinan. Diperlukan pula perubahan ke arah penerapan syariah Islam dalam semua aspek kehidupan. Artinya, cengkeraman utang ribawi itu baru bisa terlepas jika umat kembali menerapkan syariah Islam dalam institusi Khilafah, bukan dalam sistem demokrasi dan Kapitalisme sebagaimana saat ini. Siapapun pemimpinnya, jika tidak menerapkan syariah Islam, selamanya akan terjerat dalam utang ribawi yang jelas haram dan telah terbukti menyengsarakan.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar