Recent Posts

Beranda

Facebook

Cari Blog Ini

Random Posts

Recent Posts

Header Ads

Popular Posts

Comments

3-comments

Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Ads block

Banner 728x90px

Courses

6-latest-350px-course

Search This Blog

Mampukah Bacaleg Mantan Napi Korupsi Akan Amanah?

Jumat, 08 September 2023


Oleh: Khusnul


Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan setidaknya 15 mantan terpidana korupsi dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal calon legislatif (bacaleg) yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 19 Agustus 2023. Bacaleg mantan terpidana kasus korupsi itu mencalonkan diri untuk pemilihan umum (pemilu) 2024 di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Mereka berasal dari berbagai partai politik. Menurut peneliti ICW, Kurnia Ramadhana membuktikan bahwa partai politik masih memberi karpet merah kepada mantan terpidana korupsi. ICW menyayangkan sikap KPU yang terkesan menutupi karena tidak kunjung mengumumkan status hukum mereka. (voaindonesia.com, 26/8/23) 

Warganet ramai-ramai merespon kabar soal diperbolehkannya mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg) DPR, DPD, dan DPRD pada Pemilu 2024 mendatang. Mereka mempertanyakan guna SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian).
Seperti diketahui izin soal narapidana menjadi caleg tertuang dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terutama di Pasal 240 Ayat 1 huruf g. Dalam pasal tersebut, tidak ada larangan khusus bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar sebagai caleg DPR dan DPRD. (cnnindonesia.com, 22/8/23)
 
Polemik pencalonan mantan napi korupsi sebagai anggota legislatif juga pernah ramai jelang Pemilu 2019 lalu. Saat itu, KPU melarang eks koruptor mencalonkan diri sebagai peserta Pemilu 2019. Larangan itu diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018. Sebagian pihak menyambut baik aturan tersebut, namun sebagian lain mengkritik. Norma larangan napi korupsi mencalonkan diri di Pemilu 2019 itu pun digugat oleh sejumlah pihak, di antaranya para mantan napi korupsi. Akhirnya, PKPU tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa larangan itu bertentangan dengan UU Pemilu. (Kompas.com,12/9/22)

Mantan narapidana kasus korupsi atau napi koruptor boleh mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2024 berkat putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 30 P/HUM/2018. Dalam putusan itu, MA mengabulkan gugatan Lucianty atas larangan eks napi koruptor nyaleg yang diatur Pasal 60 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2018. MA menuliskan sejumlah pandangan saat mencabut larangan itu. Beberapa alasan di antaranya mengaitkan larangan itu dengan hak asasi manusia (HAM) hingga alasan tumpang tindih peraturan. (cnnindonesia.com,24/8/22) 

Sangat mengejutkan baru di pemilu tahun ini ada beberapa bekas napi koruptor yang mencalonkan diri sebagai bacaleg. Dulu sempat ada larangan dari KPU, namun kemudian pada tahun 2018  MA membatalkan dengan  alasan HAM. Hal ini sangat wajar jika masyarakat mempertanyakan terkait prosedur yang dibuat oleh pemerintah. Kebolehan ini di satu sisi  seolah  menunjukkan bahwa tidak ada lagi rakyat yang layak mengemban amanah. Selain itu juga menunjukkan bagaimana hukum itu mudah sekali berubah karena alasan tertentu dan tidak konsisten. Di sisi lain menunjukkan adanya kekuatan modal yang dimiliki oleh bacaleg tersebut, mengingat untuk menjadi caleg membutuhkan modal yang sangat besar. Sehingga orang yang memiliki modal dalam jumlah besar sangat mudah untuk maju menjadi caleg, tanpa memperhatikan riwayat hidupnya, layak atau tidaknya dia menjadi caleg. Selagi modal besar maka akan tetap ada cara bagi mereka untuk melakukan apa saja. Dan apakah kita juga yakin kalau mantan napi ini sudah bertaubat dari kesalahan yang dia lakukan dahulu, atau malah nanti akan semakin parah dengan cara yang semakin halus. Memang benar, orang baik pun jika tanpa dukungan modal tidak mungkin dapat mencalonkan diri, apalagi dalam sistem demokrasi saat ini. Inilah realita demokrasi yang dijalankan di negri ini.

Kebolehan ini memunculkan kekhawatiran akan resiko terjadinya korupsi berulang kembali, mengingat sistem hukum di Indonesia tidak memberikan sanksi yang berefek jera. Hukum di Indonesia sangat tepat kalau kita katakan tumpul ke atas tajam ke bawah, bukti sangat banyak sekali. Selain itu, hukum juga bisa dibeli, bagi orang yang punya modal besar, untuk lolos dari jeratan hukum sangat mudah. Namun untuk orang tak bermodal, meski mereka benar sangat mungkin terjerat hukum dan terdholimi. Dan dalam sistem demokrasi, hukum tidak berfungsi untuk menjaga keamanan dan mensejahterakan. Tapi hukum dalam sistem ini digunakan untuk melindungi orang yang memiliki modal besar, serta memudahkan usaha atau kepentingan mereka. Tidak peduli dengan orang lain asalkan kepentingan mereka berjalan lancar, mereka akan lakukan berbagai macam cara. 

Kalau kita coba melihat bagaimana sistem pemerintahan dalam Islam, dalam masalah pemilihan calon legislatif seperti ini sangat mirip dengan dengan adanya wakil umat atau disebut dengan majelis umat. Tetapi ada perbedaan yang tidak dapat kita samakan. Dimana dalam islam yang namanya majelis umat dia benar-benar menyalurkan aspirasi rakyat, dia akan menyampaikan segala keluh kesah masyarakat kepada pemerintah yang ada. Dalam islam majelis umat bukan termasuk dalam jajaran penguasa atau pemerintahan, yang dia merupakan majelis untuk menyampaikan aspirasi rakyat, mereka terdiri dari muslim dan non muslim, kali-laki dan perempuan. Untuk muslim mereka punya wewenang menyampaikan pengaduan dan masukan kepada kholifah, sedang untuk non-muslim atau ahlu dzimah mereka hanya punya wewenang untuk menyampaikan pengaduan saja. Islam juga mensyaratkan majelis umat dari orang islam adalah orang yang beriman dan bertakwa agar dia amanah menjalankan  perannya sebagai penyambung lidah rakyat, bukan sembarangan orang apalagi orang yang punya kepentingan dan sangat menginginkan jabatan, maka dia tidak akan dipilih. 

Sistem hukum dalam Islam sangat tegas dan menjerakan, sehingga membuat pelaku  kejahatan dapat benar-benar bertobat. Sehingga disini sangat menutup peluang kepada orang-orang yang yang tidak bertanggungjawab, atau orang-orang mantan pelaku kejahatan untuk mencalonkan menjadi pemimpin atau wakil umat. Karena dalam islam ada syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi kandidat yang akan dipilih. Setelah itupun juga ada pemeriksaan yang ketat untuk menjaga orang-orang yang terpilih untuk menjadi amanah. Apalagi  dalam islam sanksi berfungsi sebagai zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus). Hal ini menjadikan orang-orang untuk terus taat dengan aturan Allah tanpa menyimpang. Karena dengan sanksi tersebut akan memberikan efek jera kepada pelaku kezaliman dan pencegah bagi orang lain untuk melakukan kezaliman. 

Sehingga dengan pengkondisian seperti ini menjadikan majelis umat berfungsi sebagaimana mestinya. Selain itu dalam islam setiap individu ditekankan untuk mentaati hukum syara'. Dengan demikian suasana keimanan bisa terjaga, dan pengurusan urusan umat bisa berjalan sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Negara pun akan menjadi sejahtera dan berkah. InsyaAllah.

Note : Isi tulisan diluar tanggung jawab redaksi ibumenulis.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar