Recent Posts

Beranda

Facebook

Cari Blog Ini

Random Posts

Recent Posts

Header Ads

Popular Posts

Comments

3-comments

Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Ads block

Banner 728x90px

Courses

6-latest-350px-course

Search This Blog

Infrastruktur Yang Aman Hanya Ada Dalam Sistem Islam

Jumat, 08 September 2023


Oleh: Tri S, S.Si


Kabel fiber optik yang semrawut di jalan Ibu Kota Jakarta kembali memakan korban. Kali bahkan menyebabkan seorang pengemudi ojek online (ojol) meninggal dunia. Kejadian itu berlangsung saat korban pengemudi ojol mengendarai sepeda motor di Jalan Brigjen Katamso, Palmerah, Jakarta Barat pada Sabtu dini hari 29 Juli 2023. Setelah 6 jam kejadian tersebut, korban bernama Vadim menghembuskan nafas terakhir pukul 05.30 WIB. Agus menerangkan, korban saat itu mengendarai sepeda motor dari arah timur menuju ke arah barat di Jalan Brigjen Katamso, Palmerah Jakarta Barat. Diduga korban, kurang konsentrasi dan hati-hati saat melintas dekat Gudang Djarum. Kemudian, menanggapi hal tersebut Penjabat atau Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono angkat bicara. Dia mengucap turut prihatin dan berbelasungkawa atas peristiwa tersebut. Dia pun memanggil perusahaan operator pemilik kabel fiber optik. Heru mengatakan, perusahaan pemilik kabel fiber optik di Jakarta telah dipanggil pada Jumat pagi 4 Agustus 2023. Heru menyebut, perusahaan operator dipanggil untuk membahas soal kabel fiber optik yang tak kunjung dirapikan di Jakarta (liputan6.com, 06 Agustus 2023).


Kasus warga berkendara terjerat kabel telah terjadi berulang kali, dan berakibat fatal, baik kecacatan maupun hilangnya nyawa. Pihak-pihak terkait saling lempar tanggungjawab. Kasus ini terjadi akibat aspek keselamatan kurang diperhatikan. Ada banyak faktor, penyebab, di antaranya adalah tata kelola pengerjaan satu proyek yang diserahkan kepada pihak lain (swasta), sehingga pengontrolan kualitas menjadi lemah, dan aspek  keselamatan diabaikan karena fokus pada mencari keuntungan. Tata kelola pembangunan dalam sistem kapitalis meniscayakan hal ini. 


Islam memperhatikan  kualitas pekerjaan dan keselamatan semua pihak  dalam setiap pelaksanaan proyek pembangunan, karena semua ada pertanggungjawaban kepada Allah. Islam menetapkan semua pihak memiliki tanggungjawab masing-masing, dan negara adalah pihak paling bertanggung jawab atas semua resiko yang terjadi, karena dalam Islam negara adalah pihak pengurus rakyat. 


Sistem ekonomi Islam meniscayakan sebuah negara mengelola seluruh kekayaan yang dimilikinya sehingga mampu membangun infrastuktur yang dibutuhkan untuk kemaslahatan publik. Dengan pengelolaan kekayaan umum (milkiyyah ‘ammah) dan kekayaan negara (milkiyyah daulah) yang benar berdasarkan Islam, menjadikan sebuah negara mampu membiayai penyelenggaraan negara tanpa harus ngutang, termasuk untuk membangun infrastruktur. Kondisi ini berbanding terbalik dengan sistem ekonomi yang kapitalistik seperti sekarang ini yang berujung dan bertumpu pada investor swasta sehingga tidak hanya sibuk memikirkan berapa besar investasi yang diperlukan, dari mana asalnya tapi juga harus berpikir keras bagaimana mengembalikan investasi bahkan menangguk keuntungan dari proyek tersebut. Sistem ekonomi kapitalistik tidak berprinsip bahwa pengadaan infrastruktur negara adalah bagian dari pelaksanaan akan  kewajiban negara dalam melakukan pelayanan (ri’ayah) terhadap rakyatnya. Karenanya, sistem ekonomi kapitalistik ini bukan hanya sistem ekonomi yang salah, bahkan ini adalah sistem yang rusak. 


Ada empat poin penting pembangunan infrastruktur publik dalam Islam. Pertama, dalam sistem ekonomi dan politik Islam, pembangunan infrastruktur dalam Islam adalah tanggungjawab negara, bukan sebagai ajang mencari keuntungan atau ajang untuk melancarkan hubungan diplomatik dengan negara lain. Prinsip ini sangat berbeda dengan pola pembangunan infrastruktur dalam sistem kapitalistik yang menjadikan proyek infrastruktur sebagai ajang mencari keuntungan (lihat proyek jalan tol yang senantiasa berbayar) atau arena untuk kepentingan politik semata seperti proyek kereta cepat ini.


Kedua, sistem ekonomi Islam dalam naungan khilafah membahas secara rinci dan tuntas masalah kepemilikan [milkiyyah], pengeloaan kepemilikan [tasharruf], termasuk distribusi barang dan jasa di tengah-tengah masyarakat [tauzi’] juga memastikan berjalannya politik ekonomi [siyasah iqtishadiyyah] dengan benar. Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, khilafah akan mempunyai sumber kekayaan yang cukup untuk membiayai penyelanggaraan negara. Termasuk memastikan terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar rakyatnya, baik kebutuhan pribadi maupun kelompok, seperti sandang, papan, pangan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Pada saat yang sama, ekonomi negara tumbuh dengan sehat, karena produktivitas individu yang terjaga. Dengan begitu, ketika negara mengalami situasi di mana harus membangun infrastukturnya, maka negara mempunyai banyak pilihan sumber dana karena, masalah penyelenggaraan negara dan pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya juga sudah selesai.


Ketiga, Rancangan Tata Kelola Ruang dan Wilayah dalam negara khilafah didesain sedemikian rupa sehingga mengurangi kebutuhan transportasi.  Sebagai contoh, ketika Baghdad dibangun sebagai ibu kota, dibangunlah masjid, sekolah, perpustakaan, taman, industri gandum, area komersial, tempat singgah bagi musafir, pemandian umum yang terpisah antara laki-laki dan perempuan, pemakaman umum dan tempat pengolahan sampah. Dengan demikian, warga tak perlu menempuh perjalanan jauh untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, baik untuk menuntut ilmu atau bekerja karena semua dalam jangkauan perjalanan kaki yang wajar, dan semua memiliki kualitas yang standar.


Keempat, pendanaan pembangunan infrastruktur khilafah berasal dari dana Baitul Mal, tanpa memungut sepeser pun dana masyarakat. Hal itu sangat memungkinkan karena  kekayaan milik umum dan kekayaan milik negara memang secara riil dikuasai dan dikelola oleh negara.
Jikapun Baitul Mal tidak ada dana, baik karena terkuras untuk peperangan, bencana maupun yang lain, namun proyek infrastuktur tersebut memang vital dan dibutuhkan, dalam kondisi seperti ini, negara bisa mendorong partisipasi publik untuk berinfak. Jika tidak cukup, maka kaum Muslim, laki-laki dan mampu dikenakan pajak khusus untuk membiayai proyek ini hingga terpenuhi. Negara bisa saja mengajukan fasilitas kredit, baik kepada negara maupun perusahaan asing dalam kondisi tanpa bunga dan tanpa syarat yang bisa menjerat negara. Transaksi ini terkategori transaksi jual-beli yang dilakukan dengan tangguh. As-Syaikh al-Muhami, ‘Abdurrahman al-Maliki, dalam kitabnya as-Siyasah al-Iqtishadiyyah al-Mutsla, memasukkannya sebagai bagian dari perdagangan luar negeri, karena faktanya adalah fakta perdagangan, atau fakta jual-beli barang, yang dilakukan dengan pembayaran tangguh [kredit]. Tentu dengan catatan, tidak ada unsur riba dan pelanggaran syara’ lainnya. Karena itu, negara khilafah boleh mengambil kebijakan kredit fasilitas seperti ini. 


Negara akan membayarnya dengan cash keras, setelah dana infak dan pajak terkumpul. Kebijakan ini ditempuh dalam kondisi yang sangat terdesak. Walaupun demikian, kemungkinan dilakukannya kredit oleh khilafah sangat kecil, mengingat sumber kekayaan negara khilafah yang membentang di sepanjang 2/3 dunia yang sangat fantastis dan luar biasa. Perdagangan secara kredit ini berbeda dengan utang luar negeri yang dikucurkan langsung oleh negara, atau melalui badan internasional, seperti IMF dan Bank Dunia. Faktanya, baik langsung maupun melalui badan internasional, utang luar negeri ini sama-sama berbahaya. Karena utang luar negeri ini telah digunakan sebagai alat untuk menguasai dan menjajah sebuah negara. Selain menggunakan riba, di dalamnya juga ditetapkan berbagai syarat yang mengikat negara penerima utang. Dan jika proyek infrastuktur tersebut tidak vital, maka negara tidak perlu menarik pajak dari masyarakat atau mengambil fasilitas kredit, termasuk berutang kepada negara atau perusahaan asing untuk membiayai proyek ini.
 
 
Pembangunan infrastuktur dalam sistem khilafah telah terbukti berjalan dengan baik. Sejak tahun 950, jalan-jalan di Cordoba sudah diperkeras, secara teratur dibersihkan dari kotoran, dan malamnya diterangi lampu minyak.  Sementara Paris baru dua ratus tahun kemudian (tahun 1185) berhasil meniru Cordoba.
Masa emas kekhilafahan mengembangkan teknologi kapal laut, mulai dari tipe perahu cadik kecil hingga kapal dagang berkapasitas di atas 1000 ton dan kapal perang untuk 1500 orang. Pada abad 10 M, al-Muqaddasi mendaftar nama beberapa lusin kapal, ditambah dengan jenis-jenis yang digunakan pada abad-abad sesudahnya sesuai teknologinya saat itu, selain kaum muslimin memuliakan jenis kuda dan unta yang kuat menempuh perjalanan. Bahkan untuk transportasi udara pun ilmuwan muslim sudah memikirkan. Abbas Ibnu Firnas (810-887 M) dari Spanyol melakukan serangkaian percobaan untuk terbang, seribu tahun lebih awal dari Wright bersaudara, sampai Sejarawan Phillip K. Hitti menulis dalam History of the Arabs, "Ibn Firnas was the first man in history to make a scientific attempt at flying."


Yang menarik, bahkan hingga abad 19 Khilafah Utsmaniyah masih konsisten mengembangkan infrastruktur transportasi ini. Saat kereta api ditemukan di Jerman, segera ada keputusan Khalifah untuk membangun jalur kereta api dengan tujuan utama memperlancar perjalanan haji. Tahun 1900 M Sultan Abdul Hamid II mencanangkan proyek “Hejaz Railway”.  Jalur kereta ini terbentang dari Istanbul ibu kota Khilafah hingga Mekkah, melewati Damaskus, Jerusalem dan Madinah. Di Damaskus jalur ini terhubung dengan “Baghdad Railway”. Rel kereta ini mencapai Madinah pada 1 September 1908. Dan pada tahun 1913, stasiun “Hejaz Train” di Damaskus telah dibuka dengan perjalanan perdana ke Madinah sepanjang 1300 Km. 
Dengan demikian jelaslah hanya Sistem Ekonomi dan Politik Islam lah yang menjamin pembangunan infrastruktur negara bagi rakyatnya, dan sistem ekonomi dan politik Islam ini hanya dapat terlaksana secara paripurna dalam bingkai Khilafah Islam sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, para khulafaur rasyidin hingga khilafah utsmaniyyah. Wallahu a’lam bishshawab.

Note : Isi tulisan diluar tanggung jawab redaksi ibumenulis.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar