Oleh: U Diar
Muharam berlalu, namun semangat perubahan yang termotivasi dari peristiwa hijrah masih menyala di sebagian kalangan. Lainnya bagaimana? Kemungkinan sudah turut berlalu seiring semakin jarangnya kisah hijrah dipaparkan sebagai bagian dari sejarah Islam.
Padahal ada esensi lain di balik peristiwa sejarah perjalanan Rasulullah dan kaum muslimin dari Makkah ke Madinah ataupun dari Makkah ke Habasyah. Mengambil pendapat ulama, Menurut Ar Raghib al Ashfahani, memaknai hijrah keluar dari darul kufur (yakni wilayah yang menerapkan hukum-hukum kufur) menuju darul iman (yakni wilayah yang menerapkan seluruh hukum Islam).
Maka dari kenyataan yang terjadi di masa Rasulullah, dapat dipelajari adanya perubahan riil dalam pelaksanaan aturan Islam antara sebelum dan sesudah hijrah berlangsung. Saat masih di Makkah kaum muslimin dan Islam mendapatkan perlawanan dan tekanan dari kafir Quraisy. Jangankan menerapkan aturan Islam secara menyeluruh, menjalankan ibadah mahdhah saja kaum muslimin tidak leluasa.
Kondisi berubah ketika Rasulullah dan kaum muslimin sudah berada di Madinah. Ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah dapat ditunaikan secara sempurna karena saat itu Islam benar-benar diterapkan totalitas tanpa terkecuali sebagaimana amanah Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 208. Bahkan penerapan Islam di Madinah kala itu bisa membalikkan keadaan Madinah yang semula rawan pertikaian antarbani menjadi satu komando kepemimpinan Rasulullah.
Pelan tapi pasti menjadi entitas yang kuat, berpengaruh, lagi diperhitungkan secara geopolitik di wilayah jazirah Arab. Dakwah Islam ke luar Madinah pun dapat ditunaikan dengan gemilang dan terkoordinir rapi dalam naungan daulah Madinah. Kondisi penerapan Islam semakin kokoh dan terbukti membawa kebaikan bagi siapapun. Hingga ada pengibaratan Madinah kala itu sebagai tungku api yang membakar karat besi, sehingga yang tersisa hanya kebaikan besi saja.
Dari aktifitas hijrah kala itu didapatkan penguatan akidah dan penerapan syariah secara bersamaan sekaligus. Berdaulatnya daulah Madinah dalam menjadikan Islam sebagai asas pengaturan kehidupan dalam dan luar negerinya menjadikan akidah kaum muslimin kokoh dan terjaga. Kekuatan mereka dapat termobilisasi efektif guna mengemban dakwah Islam. Wibawa Islam dan kaum muslimin tinggi terbangun dan menjadi mercusuar peradaban.
Namun sayangnya pelajaran terkait perubahan hakiki dari momentum hijrah ini mulai lepas dari peneladanan saat ini. Memang benar sejarahnya dipelajari dan diceritakan berulang secara tahunan. Namun perubahan menjadikan Islam diterapkan sebagaimana yang dilakukan Rasulullah di Madinah tidak menjadi kenyataan.
Islam memang ada secara fisik bangunan dan penampilan di busana keseharian. Namun penggunaan aturan Islam dalam kehidupan masih terbatas pada urusan ibadah ritual, pengurusan pernikahan, atau urusan penyelenggaraan kematian. Sedangkan penyelenggaraan urusan yang masih hidup terasa dijauhkan dari aturan Islam.
Penyekatan agama dari kehidupan publik inipun terasa ketika sebagian orang melarang agama dibawa ke politik atau politik jangan dimasuki urusan agama. Seolah-olah kebijakan politik yang sebenarnya melahirkan keputusan berupa aturan yang akan diberlakukan sah-sah saja bila tidak tersentuh oleh panduan agama. Padahal jumlah kaum muslimin sangat banyak dan semuanya juga perlu merasakan indahnya Islam yang dipraktekkan dalam urusan selain ritual.
Inilah sebenarnya kondisi riil yang perlu dihijrahkan. Yakni memperjalankan kembali kehidupan dari kondisi tidak menerapkan aturan Allah menuju kehidupan yang menerapkan hukum-hukum Allah secara totalitas.
Yang dengannya Islam akan dapat dikondisikan kembali sebagimana ketika Nabi sampai Madinah. Yang akan mengembalikan kemuliaan Islam hingga menjadi rahmatan lil alamin sesungguhnya. Yang akan meninggikan kembali kaum muslimin pada gelar sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia. []
Sumber gambar: Bimbingan Islam
Note : Isi tulisan diluar tanggung jawab redaksi ibumenulis.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar