Recent Posts

Beranda

Facebook

Cari Blog Ini

Random Posts

Recent Posts

Header Ads

Popular Posts

Comments

3-comments

Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Ads block

Banner 728x90px

Courses

6-latest-350px-course

Search This Blog

Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan Hakiki

Selasa, 15 Agustus 2023



Oleh: Rinica M

Ibnu Qayyim al Jauziyah berkata yang artinya: "Syukur adalah menampakkan adanya nikmat Allah atas hamba melalui lisannya, yaitu berupa pujian dan pengakuan (bahwa ia diberi nikmat); melalui hatinya, yaitu berupa persaksian dan kecintaan kepada Allah; dan melalui anggota badannya, yakni berupa kepatuhan dan ketaatan kepada Allah." (Ibnu Qayyim, Madaarij as-Saalikin, 2/244).

Menurut Imam Al Ghazali, makna syukur adalah menggunakan nikmat dalam menyempurnakan hikmah untuk apa nikmat itu diciptakan, yaitu ketaatan kepada Allah. (Al-Ghazali, Ihyaa 'Uluu Ad-diin, Beirut, Darul Fikr: 2015 M, Juz IV).

Mensyukuri nikmat kemerdekaan adalah kebaikan, pasalnya kondisi bebas penindasan secara fisik ini bukan hal mudah dan murah. Dahulu pejuang mempertaruhkan apapun yang mereka miliki demi terwujudnya kondisi merdeka secara fisik. Agar anak cucu dan generasi masa depan pejuang bisa merasakan kondisi yang lebih baik.

Merujuk pada definisi syukur di atas, dengan sekian tahun karunia kemerdekaan fisik, maka perlu dilakukan perenungan apakah kemerdekaan nonfisik sudah pula dirasakan? Sebab hakikatnya penjajahan nonfisik juga berpengaruh pada kualitas hidup generasi bangsa. Apakah sudah dalam kondisi penuh keberkahan lantaran ketaatannya ataukah belum?

Oleh karena itu, diluar acara rutinan dan ornamen kemerdekaan, penting sekiranya merenungkan apakah kemerdekaan yang selama ini dirasakan sudah diisi sesuai misi ketaatan ataukah sebaliknya. Sebab jika syukur ditunaikan sesuai maksud dan tujuan ketaatan, maka bisa jadi kesulitan akan lebih sedikit dibandingkan keberkahan hidup. Sebab buah dari syukur yang benar adalah ditambahkannya kenikmatan berikutnya.

Sebaliknya jikalau tidak ada misi ketaatan dalam menikmati segala karunia yang Allah berikan, maka banyak kekayaan yang nampak terindera tetapi tidak dapat dirasakan kenikmatannya. Bisa jadi karena tidak mengindahkan aturan Allah, kekayaan alam yang melimpah ruah paradoks dengan kelaparan ataupun kekurangan pangan. Bisa jadi kehidupan yang mentereng namun tidak dalam koridor ketaatan justru menyembunyikan peliknya jeratan utang.

Melakukan evaluasi disini tidak dapat diartikan mencari kekurangan atau memunculkan kelemahan-kelemahan atas kesempatan merdeka yang ada. Justru melakukan evaluasi adalah bentuk kesungguhan memperbaiki apa-apa yang masih belum tepat dengan Zat Maha Hebat yang memberikan nikmat merdeka tersebut. Jika ada yang sudah benar dilanjutkan, jika ada yang masih keliru tinggal diperbaiki.

Jadi, tidak pula boleh diartikan upaya evaluasi sebagai bentuk kufur nikmat. Sebab kembali lagi jika definisi syukur menurut ulama adalah dalam koridor taat. Taat bermakna menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Sehingga jikalau masih dalam rangka mengingatkan agar menjalankan sesuatu dalam hidup ini sesuai perintah Allah, justru itu adalah ikhtiar menyempurnakan syukur yang hakiki.

Allah justru memberikan teguran bagi yang abai dan tidak mengingatNya. Dalam surat Thaaha ayat 124, Allah berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ

"Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta".

Dalam Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah / Markaz Ta'dzhim al-Qur'an di bawah pengawasan Syaikh Prof. Dr. Imad Zuhair Hafidz, professor fakultas al-Qur'an Universitas Islam Madinah, dinyatakan: Dan barangsiapa yang berpaling dari petunjuk Allah, maka di dunia dia akan mendapat kehidupan yang menderita dan penuh kesulitan meski secara zahir dia mendapat kenikmatan; dan pada hari kiamat dia akan dibangkitkan dalam keadaan buta, sehingga dia akan bertanya: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau membangkitkan aku dalam keadaan buta, padahal ketika di dunia aku dapat melihat?”

Oleh karena itu, sudah sepatutnya jika di usia kemerdekaan individu, kemerdekaan masyarakat, maupun kemerdekaan berbangsa dan bernegara ini, diarahkan pada semakin takwa kepada Allah. Yakni menjadikan petunjuk dari Allah untuk menjalakan semua aktifitas duniawi dalam semua aspek tanpa terkecuali. []
  
Referensi : https://tafsirweb.com/5366-surat-thaha-ayat-124.html

Note : Isi tulisan diluar tanggung jawab redaksi ibumenulis.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar