Recent Posts

Beranda

Facebook

Cari Blog Ini

Random Posts

Recent Posts

Header Ads

Popular Posts

Comments

3-comments

Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Ads block

Banner 728x90px

Courses

6-latest-350px-course

Search This Blog

Bencana Kekeringan Mengancam Bagaimana Solusi Islam?

Kamis, 29 Juni 2023



Oleh: Tri S, S.Si

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan Indonesia akan mengalami kekeringan panjang akibat fenomena El Nino yang kemungkinan terjadi pada Juli hingga akhir 2023. Prakirawan BBMKG Wilayah I Medan Aryo Prasetyo mengimbau masyarakat untuk mulai menghemat penggunaan air dan memaksimalkan cadangan air. Ia menjelaskan fenomena El Nino dipengaruhi oleh suhu muka air laut di Samudra Pasifik, dan Indian Ocean Dipole yang dipengaruhi suhu di Samudra Hindia, di mana keduanya terjadi bersamaan pada musim kemarau tahun ini. Fenomena ini akan menyebabkan semakin berkurangnya curah hujan di sebagian wilayan Indonesia selama periode musim kemarau pada semester kedua tahun ini. Sebagian wilayah Indonesia diprediksi akan mengalami curah hujan dengan kategori di bawah normal, atau lebih kering dari kondisi normalnya. Dalam keterangan terpisah, Kepala Stasiun Klimatologi BMKG Yogyakarta Reni Kraningtyas menyebut sembilan wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta berstatus waspada kekeringan meteorologis. Kesembilan wilayah tersebut, yakni:
Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Kecamatan Sentolo , Kabupaten Kulon Progo  Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul KeceamatanPandak, Kabupaten Bantul Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul Kecamatan Nglipar, Kabupaten Gunung Kidul Menurut Reni, status waspada kekeringan meteorologis berdasarkan hasil pemantauan curah hujan di DIY hingga tanggal 10 Juni 2023. Peluang kekeringan di kesembilan wilayah itu mencapai 70%. Ia menjelaskan kekeringan meteorologis adalah berkurangnya curah hujan dari keadaan normal. Menurut dia, ancaman kekeringan berpotensi menimbulkan sejumlah dampak, salah satunya pada sektor pertanian dengan sistem tadah hujan. Oleh karena itu, menurut Reni, diperlukan kewaspadaan dan upaya antisipasi dari masyarakat setempat terkait dampak bencana kekeringan (katadata.co.id, 11 Juni 2023).

Bencana banjir, kekeringan, dan lingkungan atau permasalahan sumber daya air secara umum, selama sepuluh sampai dua puluh tahun ke depan diyakini oleh banyak pihak merupakan masalah yang sangat serius. Penanganan dengan metode parsial rekayasa prasarana sipil murni yang selama ini dijalankan justru banyak membawa dampak negatif dan sering menguras dana yang sangat mahal. Oleh karena itu, perlu adanya konsep baru dan pemahaman baru yang lebih relevan, komprehensif dan secara sistemik mempunyai nilai lebih yang signifikan dibanding yang sudah dijalankan. Untuk mengkaji lebih dalam kedua kejadian (banjir dan kekeringan) tersebut perlu di kemukakan faktor-faktor penyebab kekeringan dan banjir secara menyeluruh.


Berdasarkan kaidah ilmu pada hidrologi dan keseimbangan daerah aliran sungai (DAS), banjir dan kekeringan merupakan "saudara kembar" yang pemunculannya datang susul-menyusul. Faktor penyebab kekeringan sama persis seperti penyebab banjir, keduanya berperilaku linier-dependent artinya semua faktor yang menyebabkan kekeringan akan bergulir mendorong terjadinya banjir. Semakin parah kekeringan yang terjadi, semakin dahsyat pula banjir yang akan menyusul dan hal yang demikian berlaku sebaliknya. Terdapat beberapa faktor penyebab kekeringan dan banjir, diantaranya ialah faktor iklim ekstrem (kemarau ekstrem dan hujan ekstrem), faktor penurunan daya dukung DAS (termasuk didalamnya faktor pola pembangunan sungai), faktor kesalahan perencanaan dan implementasi pengembangan kawasan, faktor kesalahan konsep drainase dan faktor kesalahan perilaku masyarakat.


Faktor iklim ekstrem dapat menyebabkan kekeringan dan banjir yang tak terkendali. Misalnya kemarau panjang atau hujan badai ekstrim yang kesemuanya dipengaruhi oleh iklim makro global. El-Nino La-Nina misalnya, bergerak diantara kepulauan Indonesia dan Panama-Chili, selain itu TIFCA Hurricane yaitu badai dahsyat dengan lama hujan masing-masing mencapai 24 jam dan 72 jam pernah terjadi di Banjarnegara, Jawa tengah.


Kondisi iklim ekstrim ini tidak bisa dielakkan dan dapat menyebabkan kekeringan dan banjir. Hal seperti ini bisa dikategorikan ke dalam natural disaster (bencana alam) yang sulit diatasi. Masalahnya ialah, jika kondisi iklim ekstrem semacam ini terjadi sedangkan kondisi daya dukung DAS sangat jelek, dampak kekeringan dan banjir yang terjadi akan semakin parah. Maka cara mengatasi faktor iklim ekstrem ini mesti dilakukan secara global bersama negara-negara lain. Hancurnya daya dukung DAS merupakan faktor dominan yang menyebabkan terjadinya kekeringan dan banjir. DAS berdaya dukung rendah diduga karena dengan perubahan tata guna lahan dari daerah tangkapan hujan dengan koefisien aliran permukaan rendah (sebagian besar air hujan diresapkan ke tanah). Kemudian berubah menjadi tanah terbuka dengan koefisien tinggi (sebagian besar air hujan menjadi aliran permukaan). Rendahnya daya dukung DAS dapat diamati dengan semakin mengecilnya luas area hutan, tidak terurus nya lahan pertanian, semakin luasnya lahan untuk hunian dan prasarana, serta semakin banyaknya tanah terbuka atau tanah kritis. Daya dukung DAS untuk menanggulangi kekeringan sekaligus banjir hanya dapat ditingkatkan dengan partisipasi masyarakat melalui program penyelamatan DAS yang menyeluruh. hal ini dilakukan dari hulu sampai ke hilir di perkotaan maupun pedesaan dengan cara mengaktifkan reservoir- reservoir alamiah, pembuatan resapan resapan air hujan alamiah dan pengurangan atau menghindar sejauh mungkin pembuatan lapisan keras permukaan tanah yang dapat berakibat sulitnya air hujan meresap ke tanah.


Hasil akumulasi kesalahan ini salah satunya ialah pola sebaran pengembangan kawasan dan sarana yang kontradiktif dengan upaya penanggulangan berbagai permasalahan.  Penyebaran pemukiman di sebagian besar kota-kota di Indonesia mengikuti penyebaran merata pola horizontal (lihat Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dll). Sehingga dalam waktu kurang dari 10 tahun seluruh DAS telah berubah menjadi hunian yang tersebar merata. Akibatnya sangat buruk, seluruh DAS rusak.
Belum lagi, soal Sosio- Hidraulik yang diartikan sebagai pemahaman sosial tentang masalah yang berkaitan dengan keairan dan konservasinya. Selama masyarakat di kota maupun di desa belum paham tentang keterkaitan antara daerah hulu dan hilir,  banjir dan kekeringan, sampah-pendangkalan, pengambilan air tanah besar-besaran dan kekeringan serta intrusi air laut, penebangan pohon/hutan dan banjir serta kekeringan ekosistem sungai, juga terkait bagaimana atau dengan cara apa seharusnya mereka berbuat, pemahaman terhadap faktor Sosio-Hidraulik ini belum dicapai. Konsekuensinya sejumlah usaha yang dilakukan diluar peningkatan pemahaman ini hanya akan membawa sedikit hasil. Makanya perlu kesadaran masyarakat secara umum.


Sistem Kapitalisme yang diterapkan saat ini memandang bahwa alam itu sebagai sumberdaya yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk mendatangkan keuntungan materi. Dengan paham kebebasan kepemilikan  telah membuat  manusia mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam (SDA). Tanpa memikirkan dampak ke depan. Baru jika ada masalah, diselesaikan secara parsial, yang tentu tak mampu menuntaskan persoalan.  Belum lagi tugas negara hanya sebagai regulator dan “sedikit” turun tangan langsung. Makanya sangat tak suka mengurus publik dengan detil, “khawatir memanjakan” itu dalihnya. Sungguh kita perlu penguasa dan negara yang perduli, dan tak apa menjadi pihak yang menjamin segala yang dihadapi masyarakat. Sebagaimana sabda Nabi :

“Imam (Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus” (HR al-Bukhari) 

Belum lagi jika bicara kesadaran masyarakat, dalam sistem kapitalis sudah lazim publik cenderung acuh. Yang penting urusannya beres. Masyarakat yang Islami, akan sangat peduli karena perduli urusan umat adalah kewajiban.  Semua berdoasa atas pengabaian masalah di sekitarnya. Maka mudah bagi seorang individu atau komunitas masyarakat yang bermasalah kekeringan atau kebanjiran dalam Khilafah. Mau ngadu jelas tempatnya, yaitu penguasa. Tetangga juga sangat peduli, dan saling menolong. Apalagi dalam Islam, tidak ada yang luput sedikitpun di dunia ini tanpa adanya Syariah yang mengaturnya. Banyaknya peristiwa yang terjadi seharusnya menjadi cermin yang mengingatkan manusia atas kekeliruannya dalam mengelola sumber daya alam. Silih berganti musibah adalah  wujud teguran atas dosa serta kedzaliman yang dilakukan oleh tangan- tangan manusia tak beradab. Sehingga hilir mudik petaka, baik di darat maupun di laut menjadi sanksi alam bagi manusia. Semakin banyak kerusakan terhadap alam yang dilakukan oleh manusia, semakin besar dampak yang akan dirasakan oleh mereka sendiri.

 “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Supaya Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka. Agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (TQS. Ar-Rum:41).


Islam sebuah agama yang penuh Rahmat, di dalamnya telah disempurnakan hukum dan aturan yang sesuai bagi manusia. Dalam hal pengelolaan air sebagai kebutuhan vital masyarakat, Islam mengklasifikasikannya sebagai milik publik. Yang dimaksud air di sini seperti sungai, danau, waduk dsb. Dalam aturan Islam, negara wajib mengelola sepenuhnya untuk kemaslahatan rakyat dan haram diserahkan kepada swasta. Tujuannya memudahkan  masyarakat agar tidak kesulitan mengaksesnya. Negara turut  mengupayakan pendistribusian sebaik mungkin agar masyarakat di mana pun bisa mendapatkan air dengan mudah. Termasuk mengoptimalkan pembiayaan dari Baitul Mal agar dapat mengembangkan teknologi mutakhir untuk melayani seluruh kebutuhan rakyat terhadap air, baik untuk air minum, industri, atau pun pertanian.


Juga wajib, negara mengatur pola pengembangan kawasan dengan tata kota terbaik dan menjauhkan dari pengalihan fungsi  yang justru menyebabkan rusaknya alam, bumi di mana manusia tinggal.  Negara juga wajib melakukan pengawasan terhadap alam dan pemanfaatan oleh masyarakat (untuk kebutuhan sehari-hari) melalui Muhtasib (pengadilan Hisbah) yang tugas pokoknya menjaga terpeliharanya hak publik secara umum. Negara juga wajib mencegah segala bahaya (dharar) atau kerusakan (fasad) pada sungai,hutan, dll. Juga melakukan konservasi lahan, menjaga keanekaragaman hayati (biodiversity), melakukan penelitian dsb. Sanksi ta’zir yang tegas oleh negara akan dijatuhkan kepada semua pihak yang merusak alam. Ta’zir ini dapat berupa denda, cambuk, penjara bahkan hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya. Pada prinsipnya, dengan adanya ta’zir akan menimbulkan efek jera agar kejahatan perusakan alam tidak terjadi lagi. Melalui penerapan syariah Islam secara menyeluruhlah, semua mampu diwujudkan. Kekeringan maupun banjir yang merupakan kodrat alam, dapat diatasi secara tuntas dengan seperangkat aturan dan dinaungi oleh negara yang tunduk pada syariat. Sehingga kemaslahatan bisa dirasakan seluruh lapisan masyarakat.
Wallahualam bishowab.

Note : Isi tulisan diluar tanggung jawab redaksi ibumenulis.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar