Recent Posts

Beranda

Facebook

Cari Blog Ini

Random Posts

Recent Posts

Header Ads

Popular Posts

Comments

3-comments

Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Ads block

Banner 728x90px

Courses

6-latest-350px-course

Search This Blog

Anak Berkelakuan Sadis Bikin Miris

Sabtu, 10 Juni 2023


Oleh: Ummu Diar

Memiliki anak sholih sholihah lagi menyejukkan pandangan adalah impian mayoritas orang tua. Demi impian itu, banyak yang berkesadaran mempersiapkan diri menjadi orang tua terbaik, bahkan sejak sebelum pernikahan terjadi. Sehingga binaan pertama dalam keluarga benar-benar bisa menjadi pondasi bagi bangunan karakter anak sholih sholihah.

Namun realitanya apa yang diimpikan banyak orang tua terpental ketika anak harus berhadapan dengan dunia di luar rumah. Kondisi lingkungan hidup yang tidak sedang baik-baik saja akibat bercokol nya kapitalisme liberal, membuat anak turut menyerap energi negatif dari luar rumah. Tak jarang anak-anak tetiba mengucapkan kalimat "ajaib" ketika datang dari bepergian. Rupanya ia mendengar kata tersebut saat berada di luar.

Kini ketika teknologi semakin pesat, informasi juga menyebar semakin cepat. Tak ada bedanya antara yang baik dan buruk, semuanya menyebar menghampiri individu melalui layar gawai. Dan tentu anak-anak adalah bagian dari pengguna gawai ini, bahkan walaupun masih anak-anak mereka terkadang lebih piawai dibandingkan orang yang lebih dewasa di sekitarnya.

Ibarat simalakama, kemudahan akses informasi di kalangan anak-anak ini pada akhirnya juga ada yang berimbas negatif. Mengenalkan anak pada konten berunsur sadisme, mengandung kekerasan, dan juga jorok dalam pembicaraan. Ini menjadi ancaman tersendiri, sebab dengan mencontoh apa yang ada di gawai, anak-anak bisa jadi korban atau bahkan jadi pelaku perbuatan sadis itu sendiri.

Sempat viral kasus yang menggambarkan bagaimana sadisme ini menghampiri sekelompok anak. Di Sukabumi, dikabarkan ada anak kelas 2 SD meninggal setelah beberapa hari di rumah sakit dengan sebab awal ia diduga dikeroyok oleh kakak kelasnya ketika di sekolah. Tentu menjadi tanda tanya besar, kenapa anak usia SD bisa sedemikian sadis pada yang lebih kecil? Kenapa juga mereka melakukan di lingkungan yang notabene tempat mereka belajar menjadi lebih baik?

Ketika anak yang seharusnya masih senang bermain tetapi justru melakukan kekerasan, pasti ada sesuatu yang mempengaruhi. Sesuatu ini sangat mungkin jumlahnya sangat banyak dan kuat. Yakni berupa terperangkapnya aturan pada konsep kapitalis yang sekuler. Kapitalis menjadikan pandangan hidup fokus pada urusan uang dan materi. Akibatnya kesibukan komunal seirama menuju pada pengumpulan materi.

Yang dapat berhasil mengumpulkan materi dalam jumlah besar, dinilai memiliki kebahagiaan, dipandang oke di tengah masyarakat. Alhasil karena kesibukan mengejar prestise materi ini, rasa saling peduli dengan sesama di sekitar tempat tinggal menjadi pudar. Mulai muncul anggapan bahwa diri sendiri sudah cukup capek dan kerja, kenapa masih harus direpotkan dengan urusan orang lain. Akhirnya muncul kecenderungan acuh, cuek pada persoalan di sekitar jika tidak langsung berkaitan dengan pribadinya.

Lemahnya kepedulian masyarakat yang sejatinya menjadi kontrol penting dalam tumbuh kembang anak ini diperparah juga dengan hilangnya perasaan takut dosa di individu tertentu. Pandangan tidak takut dosa ini dipicu karena adanya lost connections dengan Zat Pencipta, sehingga melakukan apa saja semaunya tanpa peduli bagaimana agama memandangnya. 

Buah nyata dari berhasilnya sekularisme menyusup di benak manusia. Akhirnya mau lihat apapun dari gawai ya dilihat saja. Mau melampiaskan ke siapa ya dilakukan saja tanpa ingat dosa. Apalagi kebebasan menjadi asas dalam gaya hidup kapitalis sekuler, maka selama suka orang bebas berbuat saja tanpa memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Bisa dikatakan kerusakan kondisi lingkungan hidup anak-anak inilah yang turut menyumbangkan andil kenapa anak-anak ada yang minim empati dan justru memilih menjadi pelaku kekerasan yang sadis. Lingkungan ini kontras dengan lingkungan ketika ilmuwan muslim di zaman pertengahan dulu bermunculan. Saat itu IsIam dipakai sebagai landasan menentukan aturan kehidupan bermasyarakat.

Islam digunakan sebagai acuan dalam menentukan setiap hal, tak terkecuali dalam aspek-aspek yang berhubungan dengan anak-anak. Misalnya dalam urusan penentuan kurikulum pendidikan, penyiapan fasilitas belajar anak-anak, dll. Semuanya diarahkan untuk membentuk individu berkarakter takwa. Yakni mereka yang selalu memiliki kesadaran hubungan dengan Allah sehingga punya self control dalam menjalani hidup agar tidak sampai berbuat dosa.

Keberadaan individu ini didukung oleh masyarakat yang tidak sibuk mengejar duniawi. Individu diliputi suasana masyarakat yang hobi amar makruf, sehingga kalau ada warga yang nampak menjurus pada kesalahan, tak segan saling mengingatkan. Ada suasana saling menasehati yang hidup. Ada suasananya iman yang menentramkan.

Selebihnya ketakwaan individu dan kepedulian masyarakat ini akan dikuatkan dukungan negara. Tanpa diminta pun negara akan menjadi filter bagi perembesan unsur-unsur kekerasan, sadisme, dan juga unsur rusak selainnya. Sebaliknya tayangan media akan memblow up konten yang justru mengajak individu dan msyarakat menjadi semakin baik lagi.

Maka memang semestinya Islam kembali digunakan sebagai landasan bagi aturan yang mengendalikan urusan manusia. Dan tatanan hidup yang berazaskan IsIam perlu dihadirkan kembali, agar anak-anak bisa disiapkan menjadi sebaik-baik penerus peradaban, bukan anak-anak berkelakuan sadis yang bikin miris. []

Sumber gambar: antaranews.com

Note : Isi tulisan diluar tanggung jawab redaksi ibumenulis.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar