Recent Posts

Beranda

Facebook

Cari Blog Ini

Random Posts

Recent Posts

Header Ads

Popular Posts

Comments

3-comments

Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Ads block

Banner 728x90px

Courses

6-latest-350px-course

Search This Blog

Sistem Demokrasi Bebas Korupsi? Mimpi!

Rabu, 12 April 2023



Oleh: Nur Faktul (Pemerhati Sosial dan Generasi)

Hingga detik hari ini kasus korupsi di negeri ini seolah tidak ada ujung penyelesaiannya. Sekali diperiksa dari hulu hingga hilir bahkan saling berkaitan sebagaimana fenomena gunung es. Terlihat hanya beberapa yang bersangkutan namun faktanya semua terlibat dalam lingkaran setan korupsi. Bahkan seorang pejabat KPK saja tak lepas dari kasus ini, maka tak heran jika pejabat lain pun ikut terseret. Misalnya saja kasus terbaru Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah, Ben Brahim S. Bahat dan anggota DPR RI Fraksi Nasdem Ary Egahni ditetapkan sebagai tersangka terkait dugaan korupsi berupa pemotongan anggaran seolah-olah sebagai utang kepada penyelenggara disertai dengan penerimaan suap di lingkungan pemerintah daerah Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Pasangan suami istri tersebut diduga menerima uang sebesar Rp8,7 miliar.

Dengan mengguritanya budaya korupsi ini maka tak heran jika Mahfudz MD memberikan pernyataan "Menoleh ke mana saja ada korupsi".  Belakangan ini RUU Perampasan Aset Tindak Pidana kembali menjadi pembahasan panas setelah Menko Polhukam Mahfud MD meminta permohonan khusus kepada komisi III DPR saat membahas transaksi janggal senilai Rp349 triliun di Kementerian Keuangan. Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengaku menyetujui pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Menurutnya, kehadiran RUU ini diperlukan agar proses pengembalian kerugian negara bisa dilakukan lebih cepat dan lebih baik. Namun, hingga kini Indonesia belum memiliki aturan terkait perampasan aset. Dan pada praktiknya, perampasan aset baru bisa dilakukan melalui putusan pengadilan. Dengan rumitnya prosedur yang dilalui RUU ini, akankah mampu mencegah korupsi yang sudah mengakar? Tentu hal ini menjadi tanda tanya besar untuk para pemangku kebijakan.

Budaya korupsi tidaklah muncul secara tiba-tiba, namun ada beberapa faktor penyebabnya. Seperti tingginya biaya politik sistem demokrasi, membuat para kontestan pemilu, baik kursi presiden, kepala daerah atau anggota legislatif membutuhkan modal yang cukup. Semakin tinggi jabatan yang hendak diraih, makin besar pula ongkos politiknya. Maka cara tercepat untuk balik modal ketika sudah menjabat adalah dengan korupsi. Selain itu gaya hidup hedonis konsumtif pada mayoritas keluarga pejabat, membuat mereka enggan untuk tidak tergiur pada korupsi ini. Apalagi besaran gaji tak sebanding dengan biaya hidup mewah yang mereka lakoni. Dan yang paling krusial adalah langkanya sikap amanah dan sifat jujur di sistem sekuler kapitalisme. Sebab dalam sistem saat ini tidak menjadikan iman dan takwa sebagai perisai diri bagi pejabat negeri, sehingga mereka mudah terjebak dengan arus yang sudah salah sejak awal. Politisi butuh modal, kapitalis butuh kebijakan yang memuluskan kepentingan mereka. Jika pola menjabat sudah seperti ini, bagaimana mau berbuat jujur dan amanah?

Tentunya hal di atas sangat bertentangan dengan sistem Islam dengan segala aturan lengkapnya dalam menata kehidupan baik individu, masyarakat hingga bernegara. Sistem Islam memiliki tindakan preventif dan kuratif untuk mengatasi korupsi hingga ke akarnya. Pertama, dengan penanaman yang kuat akidah Islam pada setiap individu muslim agar membentuk kepribadian Islam yang khas. Melalui sistem pendidikan Islam yang akan menghasilkan individu-individu beriman dan bertakwa. Kesadaran iman dan ketaatan inilah yang akan mencegah seseorang berbuat maksiat. Kedua, penerapan sistem sosial masyarakat berdasarkan syariat secara kaffah. Tradisi saling menasihati dan berbuat amal saleh akan tercipta seiring ditegakkannya hukum Islam di tengah mereka. Sehingga jika ada anggota masyarakat yang terindikasi berbuat kriminal atau korupsi, masyarakat dengan mudah bisa melaporkannya pada pihak berwenang. Ketiga, mengaudit harta kekayaan pejabat secara berkala. Agar mereka tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk meraup pundi-pundi uang ke kantong pribadinya. Hal ini sebagai bentuk kontrol dan pengawasan terhadap harta pejabat negara.

Keempat, sistem kerja lembaga yang tidak rentan korupsi. Dalam sistem Islam, ada lembaga yang bertugas memeriksa dan mengawasi kekayaan para pejabat,  yaitu Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam aspek kuratif, penegakan sanksi hukum Islam sebagai langkah terakhir jika masih terjadi pelanggaran seperti korupsi. Sistem sanksi di dalam Islam memiliki dua fungsi yaitu sebagai jawabir (penebus dosa) sebab dengan adanya uqubat dapat menggugurkan seorang muslim dari sanksi akhirat. Sedangkan jawazir sebagai pencegah manusia berbuat jahat karena hukumannya mengandung efek jera. Para pelaku dan masyarakat yang punya niatan untuk korupsi akan berpikir seribu kali untuk mengulangi perbuatan yang sama. Untuk kasus korupsi, dikenai sanksi takzir. Sanksi takzir bisa berupa penjara, pengasingan, hingga hukuman mati. MasyaAllah, demikianlah sistem Islam memberikan solusi terbaik agar kasus korupsi benar-benar mampu diberantas hingga keakarnya. Bukan sekedar mimpi sebagaimana dalam sistem demokrasi saat ini. Hanya dengan menerapkan aturan Islam lah negeri ini terbebas dari segala kejahatan yang menyengsarakan urusan umat dan kesejahteraan pun adalah keniscayaan yang tak terelakkan. Wallahu a'lam bi shawab.

Note : Isi tulisan diluar tanggung jawab redaksi ibumenulis.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar