Recent Posts

Beranda

Facebook

Cari Blog Ini

Random Posts

Recent Posts

Header Ads

Popular Posts

Comments

3-comments

Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Ads block

Banner 728x90px

Courses

6-latest-350px-course

Search This Blog

Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa, untuk Kepentingan Siapa?

Rabu, 01 Februari 2023



Oleh : Kholisotut Tahlia 

Ribuan kepala desa melakukan demo di depan kantor senayan pada 17 Januari lalu. Mereka menuntut perpanjangan masa jabatan dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Dalam unjuk rasa ini mereka juga mengancam akan  'menghabisi' partai politik yang tidak mendukung aspirasinya pada pemilu 2024. Sebenarnya, tuntutan masa jabatan 9 tahun untuk kepentingan siapa? Jika untuk kepentingan rakyat, saya sebagai bagian dari rakyat tidak terbersit sedikitpun keinginan untuk memperlama masa jabatan kades. Faktanya, juga tidak ada elemen rakyat yang turut mengajukan aspirasi ini. 
Masa jabatan penguasa dalam sistem demokrasi meniscayakan adanya pembatasan. Teori demokrasi, jabatan penguasa yang tidak diberi batas waktu meniscayakan adanya oligarki yang rawan korupsi, kolusi dan nepotisme. Masa jabatan yang terlalu lama juga akan memberi kesempatan penguasa mengembangkan 'gurita' kekuasaan yang akan memperkuat posisinya. Hal ini akan menciptakan kekuasaan besar bagi para penguasa untuk melakukan apapun sesuai kepentingannya dan menciptakan kezaliman terhadap rakyat. Karenanya, dalam teori demokrasi, masa jabatan harus dibatasi, demikian juga dengan kekuasaannya.
Sejatinya, konflik kepentingan tidak akan pernah musnah dari muka bumi selama ideologi kapitalisme tetap menancap kuat mempengaruhi paradigma berpikir manusia. Logika berkuasa untuk menciptakan kekayaan pribadi sudah menjadi pengetahuan umum semua orang. Tidak ada penguasa yang benar-benar bekerja untuk melayani rakyat, kalaupun ada jumlahnya sangat sedikit dan seringkali hanyalah untuk pencitraan. Bayangkan saja, 500 triliun dana yang alokasinya untuk pengentasan kemiskinan saja terserap banyak hanya untuk pengentasan kemiskinan nafsu penguasa, dana habis untuk studi banding dan rapat-rapat tentang kemiskinan. Saya sebagai emak-emak ingin sekali berteriak, rapat kemiskinan tidak membuat anak-anak kami kenyang Pak!. Lalu apatah lagi dana-dana yang lain? Lalu dimana pelayanan terhadap rakyat?. Sesungguhnya rakyat yang ditimpa kemiskinan atau pejabat yang kekurangan uang?  Manusia jika dibebaskan diberi kekuasaan maka kekayaan berapapun akan tetap kurang dan kurang. Maka logika yang sama kita terapkan untuk demo para kepala desa, minta masa jabatan 9 tahun benarkah untuk kepentingan rakyat ataukah dana desa hampir 1 M yang masih sayang untuk ditinggalkan? Terbukti 700 kepala desa ditangkap karena kasus korupsi dana desa. Benar-benar sayang rakyat atau dananya? Maka benarlah harus ada pembatas bagi kekuasaan yang ada. 
Dengan apa kekuasaan harus dibatasi? Apakah efektif dengan kekuasaan yang lain? Dalam demokrasi dikenal istilah trias politica. Kekuasaan dibagi menjadi 3, eksekutif sebagai pelaksana, legislatif sebagai pembuat aturan dan yudikatif sebagai pengadil nya. Prakteknya cara ini benar-benar tidak efektif. Misalnya, masih saja ada korupsi. Didirikan lembaga pengawas yang disebut KPK, lucunya didalamnya juga ada penyelewengan, lalu didirikanlah lembaga pengawas KPK. Siapa yang menjamin lembaga pengawas ini juga tidak menyeleweng?. Ditengah kemirisan ini saya benar-benar merasa lucu dan ingin tertawa. Ini seperti sebuah lawakan, apakah kita akan mendirikan lagi berupa lembaga pengawas untuk lembaga pengawas KPK?!. Sampai kapan tentu takkan berujung jika logika kita berpolitik tetap sekuler seperti sekarang. Memisahkan agama dari kehidupan.
Paling efektif, efisien dan hemat anggaran memang hanya sistem Islam. Esensinya sistem Islam adalah sistem kehidupan yang menerapkan aturan syariat Islam, dorongannya adalah keimanan. Kalau sudah demikian maka ketaqwaan individu yang akan menjadi pengontrol utama setiap orang termasuk para penguasa. Penyelewengan pasti tetap ada, tapi jumlahnya akan kecil. Ada sistem sanksi dalam Islam yang menjadi benteng terakhir penjagaan penerapan hukum. Sanksi ini sudah Allah tetapkan kadar dan bentuknya sehingga tidak ada peluang suap menyuap untuk gonta ganti bentuk hukuman. Pada perkara yang menjadi wewenang ijtihad Khalifah untuk memberi sanksi, ada prosedur baku proses penggalian hukum dari sumber-sumber hukum Islam yang transparan bisa diawasi oleh siapapun. 
Seseorang berkuasa dalam logika berpikir Islami adalah untuk menerapkan hukum-hukum Islam, dorongannya adalah ketaqwaan, kesungguhan mengemban amanah. Tidak perlu ada pembatasan masa jabatan, selama seseorang tidak melakukan penyelewengan, dan dia tetap memiliki syarat-syarat kepemimpinan, wajar dia tetap layak memangku kekuasaan. Jadi penguasa punya waktu longgar melayani rakyat, dan benar-benar melayani mereka, tidak ada pemilu musiman yang mengaburkan fokus penguasa. Nah gimana prakteknya? Tentu masih banyak pertanyaan di benak. Fiqih politik Islam sangat detail dan kompleks. Kita harus meluangkan waktu sungguh-sungguh untuk mengkajinya, karena inilah obat bagi teruknya penyakit yang menimpa kehidupan politik rakyat. Tidak akan pernah bisa sembuh selama tidak ada edukasi sungguh-sungguh untuk memperbaiki paradigma berpikir masyarakat yang telah dirusak ideologi kapitalisme yang mencabut keimanan dan menggantinya dengan kepribadian sekuler.

Note : Isi tulisan diluar tanggung jawab redaksi ibumenulis.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar