Oleh: Ummu Aqila
Harkodia (Hari Anti Korupsi Sedunia) ditetapkan Majelis Umum PBB dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat global akan bahaya korupsi. Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia juga bertujuan untuk meningkatkan peran konvensi atau perjanjian antar negara dalam memberantas dan mencegah korupsi. Konvensi antar negara ini mulai berlaku sejak Desember 2005.
Hakordia tahun 2022 yang mengambil tema “Indonesia Pulih Bersatu Melawan Korupsi”. Dalam penyampaiannya Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) tahun ini layak disikapi dengan rasa berkabung atas runtuhnya komitmen negara dan robohnya harapan masyarakat. ICW kemudian menyoroti sejumlah aspek yang dinilai turut berkontribusi dalam meruntuhkan komitmen negara terkait pemberantasan korupsi. Salah satu aspek yang turut disorot ICW adalah tingginya angka korupsi di kalangan politisi. "Berdasarkan data penindakan KPK, sepertiga pelaku korupsi yang diungkap selama 18 tahun terakhir berasal dari lingkup politik, baik legislatif (DPRD maupun DPR RI) dan kepala daerah dengan jumlah 496 orang," (tirto.id, Minggu, 11 Desember 2022).
Penetapan Bupati Bangkalan, R. Abdul Latif Amin Imron (dkk) sebagai tersangka kasus korupsi menambah daftar panjang kepala daerah yang menjadi pesakitan komisi antirasuah. Latif terseret kasus pemberian dan penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara atau yang mewakili terkait lelang jabatan.
Seharusnya korupsi di kalangan politisi nol persen karena penyeru peringatan hari antikorupsi sedunia adalah pejabat pemerintah, pegawai negeri, apparat penegak hukum, dan juga calon pegawai negara. Namun faktanya berbalih 180 derajat, bertahun-tahun diperangati Hari Anti Korupsi Sedunia gagal total memberantas korupsi. Korupsi tumbuh subur dikalangan politisi.
Bagaimana tidak? Sistem demokrasi memberikan tekanan dan peluang tumbuh suburnya korupsi. Politisi pasti butuh kendaraan politik dengan biaya fantastis. Biaya yang fantastis tidak mungkin bisa ditanggung secara pribadi dan pasti harus ada dukungan dana dari pihak konglomerasi alias pemodal. Sang politisi harus balik modal ketika menjabat. Karena tidak ada makan siang gratis. Akibatnya, politisi tidak lagi murni sebagai wakil rakyat atau pejabat negara yang mengurusi urusan masyarakat, tetapi lebih kepada mencari nafkah, yang selain untuk balik modal juga untuk mengamankan kekayaan untuk keluarganya setelah nanti dirinya purna tugas.
Gelapnya korupsi di Indonesia, sungguh tidak heran jika dalam pemeringkatan Negara Terbaik 2022 dari US News (27-09-2022) Indonesia menempati posisi ke-30 dari 85 negara yang menduduki peringkat sebagai negara paling korup di dunia.
Semua ini adalah mimpi buruk. Tidak heran jika publik makin mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi yang sudah kadung membudaya di Indonesia. Dari mulai Lembaga KPK sampai ke KUHP bukan menjerakan koruptor justru menumbuh suburkan kejahatan ini. Harkordia pun hanya sebuah ILUSI, tidak ubahnya lipstik pemoles lemahnya kinerja pemberantasan korupsi. Dan ini, hanya terjadi dalam sistem sekuler.
Kondisi ini sangat berbeda dengan sistem peradilan dan sanksi Islam. Ketegasan sistem Islam dalam memberantas korupsi tidak terlepas dari sifat sistem persangsian dalam Islam, yakni sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Maknanya, agar orang lain yang bukan pelanggar hukum tercegah untuk melakukan tindak kriminal yang sama dan jika sanksi itu diberlakukan kepada pelanggar hukum, maka sanksi tersebut dapat menebus dosanya.
Di samping itu, sistem Islam secara menyeluruh akan meniscayakan ketakwaan dalam diri setiap individu. Dengan ketakwaan yang dimiliki, pelaku tindak kriminal tidak akan tahan berlama-lama menyimpan kesalahan dan segera bertaubat. Oleh karena itu, pelaku akan menyerahkan diri pada pihak berwenang dan mengakui kesalahannya. Wallahualam bishowab
Note: Isi tulisan diluar tanggung jawab redaksi ibumenulis.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar