Recent Posts

Beranda

Facebook

Cari Blog Ini

Random Posts

Recent Posts

Header Ads

Popular Posts

Comments

3-comments

Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Ads block

Banner 728x90px

Courses

6-latest-350px-course

Search This Blog

Buah Penerapan Demokrasi, Rekening Gendut Pejabat dan Kesengsaraan Rakyat

Senin, 03 Oktober 2022




Penulis : Heni Satika (Praktisi Pendidikan)

Berita rekening gendut pejabat mulai dari menteri, anggota DPR, kepolisian bahkan hakim Mahkamah Agung. Bukanlah berita baru, sudah menjadi pendapat umum jika mereka memperkaya diri dengan jabatan dan kekuasaannya. Apalagi kasus seorang oknum polisi bintang dua yang kekayaan luar biasa. Tidak sebanding dengan gaji dan tunjangannya selama ini. Fakta ini membuat masyarakat makin mengurut dada, mengingat kondisi rakyat yang tercekik dengan kenaikan BBM. Disusul dengan kenaikan bahan makanan pokok, transportasi, dan sebagainya membuat rakyat susah untuk sekedar mempertahankan hidup, apalagi bermimpi untuk hidup enak dan berkecukupan. 

Di sisi lain, para pejabat menikmati kekayaan yang mewah dan makin bertambah setelah pandemi. Dilansir dari CNN Indoonesia tahun 2020 KPK mengatakan sekitar 70,3 % harta kekayaan pejabat naik selama setahun terakhir. Ambil contoh kekayaan Menko Marvest Luhut Binsar Pandjaitan naik Rp 67.747.603.287 sehingga total kekayaannya mencapai RP 244.019.517.000.  Bahkan ada yang mengatakan kekayaan Ferdy Sambo mencapai 900 milyar.

Berbagai spekulasi akhirnya muncul darimana asal rekening tersebut. Dikarenakan antara gaya hidup, gaji, dan tabungannya tidak sesuai. Lalu darimana sumber rekening tersebut jika tidak dari korupsi atau upeti pejabat di bawahnya. Spekulasi ini akhirnya makin berkembang dengan dikuatkan beberapa temuan (BPK) bahwa ada aliran dana APBN ke sejumlah rekening pribadi pejabat di lima kementrian dan lembaga. Dilansir dari BBC News Indonesia kementrian pertahanan mendapat transferan  total lebih dari RP 48 miliar.

Walaupun kementerian terkait memberikan klarifikasi bahwa itu mempercepat pencairan aliran dana tidak ada penyelewangan karena mereka sudah memberikan bukti lewat berita pencairan dana. Akan tetapi menurut ICW itu rawan penyalahgunaan anggaran. Dikarenakan walaupun atas nama kantor tapi masukknya ke rekening pribadi. 

Seakan-akan korupsi di Indonesia tidak bisa diatasi karena sudah menggurita dan tentakelnya mencengkeram dimana-mana. Apakah ada hubungan antara korupsi dengan sistem demokrasi?

Jawabannya adalah ada. Pertama produk hukum yang berlaku di Indonesia adalah yang sudah diputuskan oleh DPR/MPR atas usulan pemerintah. Masalahnya  Indonesia belum mengatur pemidanaan kepada pejabat negara yang memiliki harta tidak sah. Sehingga seakan-akan pejabat boleh memiliki harta banyak walaupun sumbernya patut dicurigai, asalkan tidak ketahuan hartanya itu berasal dari jalur sah atau tidak. Maka dia berada pada posisi aman. 

Kedua, ini bukan perkara ketidakmauan pemerintah untuk mematuhi aturan yang ada, tetapi bersifat sistemik. Perhatikan alurnya, seandainya  DPR punya kemauan dimulai dengan mengajukan revisi UU Tipikor ke Mahkamah konstitusi. Dari MK akan dilakukan uji materi, apakah UU Tipikor menyalahi/tidak dengan UU yang sedang berlaku saat ini.

Proses ini memakan waktu yang lama.  Sudah menjadi pengetahuan umum sebenarnya, lama dan tidaknya proses UU tergantung dari dana yang disiapkan, dan kepentingan partai  yang tercermin dalam pribadi anggota DPR. Terdapat hubungan simbiosis mutualisme dari partai dan anggota DPR. Sehingga ketika sebuah UU tidak sejalan/mengancam keberadaan partai maka dipastikan UU tersebut tidak lolos.

Hubungan tersebut yang seharusnya dipotong, tetapi sistem demokrasi lemah dari sisi ini. Karena anggota DPR tidak bisa menjabat tanpa melalui parpol. Sedangkan parpol partai non profit, sehingga keberlangsungan mereka tergantung dari anggota partai yang mempunyai kedudukan. Kalau sudah begini maka yang berbicara adalah konflik kepentingan. Tidak ada lagi bayangan rakyat yang menderita. Semuanya sibuk dengan urusan partainya.

Dengan kondisi seperti ini, masihkah kita berharap perbaikan pada sistem demokrasi?

Berbeda sekali dengan sistem khilafah, yang menjadikan Khalifah dan seluruh anggota majelis Umat bisa menjabat bukan karena dia anggota parpol atau bukan dan tidak memerlukan uang supaya menjabat di Majelis Umat. Karena tugas MU bukan membuat UU, tetapi menyuarakan aspirasi atau bentuk kezaliman. Dari sini menutup peluang untuk membuat UU yang sesuai dengan kepentingan penguasa atau pengusaha. Sedangkan sumber hukum yang dipakai sudah lengkap yaitu Kitabullah dan Sunah Rasulnya. Masihkah ada pilihan lain untuk kita selain sistem Islam?

Wallahu a'lam bish showab.

Note : Isi tulisan diluar tanggung jawab redaksi ibumenulis.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar