Recent Posts

Beranda

Facebook

Cari Blog Ini

Random Posts

Recent Posts

Header Ads

Popular Posts

Comments

3-comments

Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Ads block

Banner 728x90px

Courses

6-latest-350px-course

Search This Blog

Bencana terus Berulang Dimana Peran Penguasa?

Rabu, 19 Oktober 2022



Oleh: Nur Faktul (Pemerhati Sosial dan Generasi)

Belakangan ini curah hujan di beberapa wilayah negeri ini cukup tinggi, maka tak heran bencana banjir hampir tak pernah absen menghampiri. Cuaca yang sulit diprediksi seringkali dipersalahkan, hingga banjir yang setiap tahun hadir pun seolah hal biasa yang tak perlu buru- buru dituntaskan. Pemerintah justru sibuk merancang ide pembangunan yang sebetulnya tak benar-benar dibutuhkan rakyat. Sungguh miris memang, banjir sudah menggenangi sejumlah lahan di tanah air, namun mitigasi bencana, seolah tak diseriusi. Lihat saja di Lhokseumawe, Aceh banjir menggenangi sejumlah wilayah di kota tersebut sejak Selasa (04/10/2022). Hal ini dipicu oleh hujan intensitas tinggi sehingga terjadi luapan debit air sungai. Tercatat 46 orang mengungsi, tidak ada korban jiwa namun setidaknya 4.900 hektare lahan sawah terendam banjir. Maka dapat dipastikan wilayah ini gagal panen.
Tak hanya di Aceh, bahkan banjir juga melanda ibukota. Pada Rabu (12/10/2022) terdapat 50 RT terendam banjir akibat luapan sungai Ciliwung. Ketinggian banjir mencapai 2,2 meter di kelurahan Cawang, Jakarta Timur. Banjir juga terjadi di Sukabumi, Bogor, Bandung dan Jawa Timur bahkan Papua, Sulawesi juga tak luput dari genangan air. Hampir seluruh wilayah terkena bencana ini. Namun sayangnya antisipasi dari pemerintah tidak secepat aliran air, padahal bencana ini selalu berulang setiap tahun. Indonesia memang termasuk wilayah potensial bencana, terutama banjir. Dalam catatan Badan Nasional penanggulangan Bencana (BNBP), sepanjang periode 1 Januari hingga 9 Oktober saja, s7dag terjadi 1.083 kali banjir, 483 kali tanah longsor dan 867 kali cuaca ekstrem. Faktor cuaca memang tidak bisa dikendalikan oleh manusia, seperti fenomena La Nina, peningkatan suhu permukaan laut, perubahan angin, dan lain-lain seringkali disebut sebagai penyebab utama banjir. Namun masalahnya, bencana ini bukan perkara baru melainkan sudah bagai langganan setiap kali musim penghujan. Kerugian material yang ditimbulkan sudah tak terhitung lagi, sementara masyarakat dipaksa menerima keadaan dengan dalih faktor alam sebagai penyebabnya.

Kenyataannya, penyebab banjir bukan semata karena faktor alam. Ada banyak hal yang harus di evaluasi dari perilaku manusia itu sendiri terhadap alam. Hal ini bisa terkait dengan budaya dan kebijakan struktural dalam pembangunan. Penguasa hari ini malah sibuk berpolemik saat bencana sudah terjadi, alih-alih mencari solusi justru sibuk mencari kambing hitam. Selain itu negara acapkali gagap melakukan mitigasi bencana sehingga berbagai dampak tak terantisipasi sebaik-baiknya. Jika ditelusuri, problem bencana banjir ini memanglah sistemis maka harus diberikan solusi yang sistemis pula. Misalnya saja curah hujan yang tinggi, tidak akan menjadi masalah jika hutan-hutan tidak ditebangi, tanah resapan tidak dibetoni, daerah aliran sungai tidak mengalami abrasi dan sistem drainase dibuat terintegrasi. Seharusnya kehadiran hujan mendatangkan rahmat bukan laknat. Di dalam sistem kapitalisme eksploitasi lahan tambang, alih fungsi lahan memang kian tak terkendali. Sehingga tanah pun makin turun, akibat konsumsi air tanah untuk penunjang  fasilitas hunian elit dan industrialisasi. Bahkan volume sungai pun makin menyempit akibat melimpahnya sampah dan sedimentasi dampak hunian di bantaran kali.

Sungguh miris sebetulnya, hampir semua terjadi secara legal atas nama pembangunan yang justru abai terhadap tata ruang dan tata wilayah, sangat profit oriented, cenderung pragmatis, dan mengedepankan ego sektoral. Hal ini bukti bahwasanya penguasa lebih memihak kepentingan pengusaha, keuntungan materi adalah segalanya. Soal kelestarian alam dan keberlangsungan kehidupan rakyat di masa depan bukanlah hal yang perlu diperhitungkan. Astaghfirullah. Sejatinya, dunia ini butuh sistem Islam. Sebab paradigmanya bertentangan dengan sistem kapitalisme saat ini. Di dalam Islam mengajarkan harmoni dan keseimbangan. Adab terhadap alam bahkan di nilai sebagai bagian dari iman.

Maka siapapun yang merusak keseimbangan alam, dianggap pelaku kejahatan dan di nilai sebagai bentuk kemaksiatan. Penguasanya pun benar-benar berperan sebagai pengurus dan penjaga umat. Sistem Islam juga mengatur soal penggunaan tanah dan pentingnya memperhatikan tata ruang. Serta secara tegas melarang eksplorasi dan eksploitasi yang serampangan seperti dalam sistem saat ini. Ketika sistem Islam diterapkan, tidak pernah terjadi bencana yang penyebabnya di luar faktor alam. Jika pun terjadi maka statusnya adalah musibah dan ujian bukan karena kerakusan manusia yang niradab.

Sudah saatnya umat Islam hari ini harus segera bertobat kepada Allah swt. Dengan kembali pada aturan yang telah Allah tetapkan yaitu sistem Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyyah. Bersungguh-sungguh dalam berjuang mengembalikan sistem kepemimpinan Islam, dengan jalan dakwah.  Membangun kesadaran umat tentang rusaknya sistem kapitalisme sekuler hari ini dan pentingnya hidup di bawah naungan syariat Islam. Menjadikannya solusi satu-satunya yang mampu membawa umat pada kemaslahatan di dunia dan akhirat. 

Wallahu a'lam bish  shawab.

Note : Isi tulisan diluar tanggung jawab redaksi ibumenulis.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar