Recent Posts

Beranda

Facebook

Cari Blog Ini

Random Posts

Recent Posts

Header Ads

Popular Posts

Comments

3-comments

Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Ads block

Banner 728x90px

Courses

6-latest-350px-course

Search This Blog

Polemik Remisi Napi Koruptor

Jumat, 23 September 2022




Oleh : Binti Masruroh
 
Rombongan koruptor menghirup udara bebas. Pada Selasa 06 september 2022 lalu Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM telah memberikan remisi dan pembebasan bersyarat, kepada 23 narapidana koruptor.
 
Bebasnya puluhan koruptor ini banyak tentu saja mengundang polemek dan dipertanyakan masyarakat. Pasalnya pembebasan bersyarat tersebut tanpa penjelasan yang cukup kepada public dan dinilai menimbulkan rasa ketidak adilan masyarakat. Pemerintah berdalih pemberian remisi, pembebasan bersyarat ini sudah sesuai aturan. 

Aturan Remisi Koruptor terdapat dalam Permenkumham nomer 7 tahun 2022. Aturan ini sebagai buntut dari putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan PP nomor 99 tahun 2012 atau yang dikenal dengan PP pengetatan remisi koruptor.
 
Koordinator Indonesia Corruption Watch ( ICW) Adnan Topan Husodo di kanal youtube Populi Center  menilai 23 koruptor mendapatkan remisi hingga akhirnya bebas bersyarat, menunjukkan kejahatan korupsi seolah merupakan kejahatan biasa, padahal korupsi adalah kejahatan luar biasa, kejahatan kerah putih, kejahatan karena jabatan. Adnan menilai pemberian remisi ini tidak masuk akal, sebagai contoh ia menyoroti mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari yang baru dipenjara dua tahun kini bebas bersyarat, padahal kasus korupsi yang menjeratnya sangat besar (news.detik.com 7/09/22).
 
Pakar hukum pidana Universitas Airlangga Iqbal Felisiano menilai pemberian remisi kepada narapidana korupsi mencederai rasa keadilan masyarakat, berpotensi menjadikan korupsi sebagai kejahatan biasa dan tidak memberikan efek jera pada koruptor. Untuk memberikan efek jera bagi koruptor harus ada sanksi tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu yang konstitusional.Pidana tambahan seperti pencabutan hak politik. Cara lain untuk menimbulkan efek jera pemerintah bisa mengeluarkan undang-undang pengembalian asset (suarasurabaya.net 07/09/22).
 
Wakil ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan harus ada keterbukaan dalam pemberian remisi dan pembebasan bersyarat kepada narapidana korupsi. Remisi dan Pembebasan bersyarat itu memang hak yang diberikan Pasal 10 UU Pemasyarakatan, tetapi pelaksanaannya harus proporsional dan terbuka. Harus seimbang dengan perbuatannya yang sudah mencederai public dan merugikan negara dan rakyat dengan masa pembinaannya.(news.detik.com 15/09/22)
 
Cita-cita gerakan Reformasi pasca lengsernya Presiden Soeharto, untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN nampaknya masih sekedar mimpi disiang hari. Bahkan ada kecenderungan ada sikap pembelaan dan ramah terhadap koruptor. Terbukti dengan pembebasan bersyarat pada belasan koruptor ini.
 
 
Maraknya kasus korupsi yang terjadi di negeri ini karena penerapan sistem kapitalis sekuler. Kapitalisme berasaskan manfaat. Sekularisme menjauhkan agama dari kehidupan. Akibatnya seseorang tidak memiliki keimanan yang kuat. Perbuatannya hanya mengikuti hawa nafsunya. Ketika seseorang menjadi pejabat maka dia akan memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri atau melakukan korupsi. Sekularisme menempatkan manusia yang lemah sebagai pembuat hukum. Karenanya hukum yang dihasilkan adalah hukum lemah pula, hukum yang tidak bisa mewujudkan keadilan. Hukum bisa ditawar dan dibeli seperti yang terjadi saat ini. Hukuman juga tidak bisa menimbulkan efek jera.


Kondisi ini berbeda dengan sistem Islam. Islam menjadikan Aqidah Islam sebagai landasan dalam kehidupan bernegara. Negara bertanggung jawab untuk menanamkan keimanan  terhadap rakyat. Negara menerapkan sistem pendidikan Islam yang salah satu bertujuan untuk menanamkan kepribadian Islam. Pendidikan Islam mampu membentuk orang-orang yang memiliki kepribadian Islam, memiliki keimanan yang kuat, sehingga perbuatannya didasarkan pada halal dan haram. Ketika menjadi pejabat dia menyadari bahwa jabatan adalah amanah, dia akan berhati-hati, dia menyadari bahwa apapun yang dilakukan akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah, sehingga dia tidak akan menjadikan jabatannya sebagai kesempatan melakukan korupsi. 


Peraturan atau hukum dalam Islam dibuat oleh Allah SWT, dzat yang maha adil. Allah berfirman dalam Surat Al An'am ayat 57  yang artinya “ Sesungguhnya membuat hukum itu hanyalah hak Allah SWT. Karenanya hukum dalam Islam tidak berpihak kepada siapapun, tidak bisa dijual belikan dan tidak bisa ditawar oleh siapapun.

 
Untuk mencegah terjadinya korupsi Islam negara membentuk Badan Pengawas dan Pemeriksa Keuangan. Badan ini bertugas menghitung kekayaan pejabat sebelum menjabat. Ketika menjabat akan diawasi penambahan kekayaannya. Apabila terdapat penambahan kekayaan yang meragukan maka akan dihitung penambahannya itu apakah diperoleh secara syar’i atau tidak. Apabila terbukti dia melakukan korupsi maka hartanya akan disita menjadi kas negara, dan pejabat tersebut akan diproses hukum.
 

Islam memberikan sanksi yang tegas kepada pelaku korupsi. Mereka akan mendapatkan sanksi ta'zir yang hukumannya ditetapkan oleh khalifah sesuai tingkat kesalahannya. Mulai hukuman yang paling ringan hingga yang paling berat. Mulai hanya diberi nasehat oleh hakim, didenda, diumumkan kepada public melalui media masa, dipenjara, dicambuk, hingga hukuman mati.
 

Sanksi hukum dalam Islam memiliki dua fungsi yaitu sebagai jawazir (pencegah) atau menimbulkan efek jera, baik bagi pelaku maupun bagi masyarakat secara umum dan sebagai jawabir (penebus dosa) bagi  pelakunya.

Dengan menerapkan Syariat Islam secara kaffah dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah maka pemerintahan yang bersih dari KKN akan benar-benar terwujud. Wallahu A’lam bish Ash-showaf.

Note : Isi tulisan diluar tanggung jawab redaksi ibumenulis.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar