Oleh : Bunda Hanif
Baru-baru ini medsos diramaikan oleh seruan #StopBayarPajak. Viralnya seruan ini adalah cermin kondisi masyarakat yang terbebani dengan pungutan pajak yang makin menjerat. Kondisi masyarakat sudah cukup berat sejak pandemi. Perekonomian belum juga pulih, kini harga bahan pokok melejit, membuat rakyat semakin menjerit. (muslimahnews.com, 1/8/2022)
Sejak April lalu, tarif pajak pertambahan nilai (PPN) naik dari 10% menjadi 11%. Meski tidak berlaku untuk semua komoditas, namun kenaikan tersebut mengakibatkan harga berbagai barang juga mengalami kenaikan. Kondisi ini membuat pengeluaran rakyat bertambah, sedangkan penghasilan “segitu-gitu” saja. Maka wajarlah jika seruan untuk berhenti bayar pajak viral di dunia maya. Keadaan bertambah parah dengan maraknya kasus korupsi, sehingga membuat rakyat makin skeptis terhadap penggunaan pajak.
Namun sayang, seruan #StopBayarPajak tidak berlangsung lama. Karena pemerintah telah menegaskan pajak wajib dibayar rakyat. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan, “Mereka yang menyampaikan hashtag enggak bayar pajak, ya berarti Anda tidak ingin lihat Indonesia bagus, itu saja.” (Kontan, 19/7/2022)
Pemerintah telah meresmikan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Kebijakan ini berlaku mulai 14/7/2022 dan berlaku penuh pada 1/1/2024. Kebijakan ini menunjukkan bahwa strategi sapu bersih pajak tengah dilakukan. Tidak ada celah bagi rakyat untuk tidak dipajaki.
Inilah yang terjadi jika negara menganut sistem ekonomi kapitalisme. Pajak menjadi sumber pendapatan utama negara. Negara bebas memungut dari rakyat. Rakyat tidak bisa berkutik, mereka tidak punya pilihan, ibarat buah simalakama, jika membayar membuat hidup mereka semakin sulit, jika tidak membayar akan mendapatkan sanksi.
Pajak memang cara yang paling mudah untuk mendapatkan pemasukan negara. Berbeda halnya jika pemerintah mengelola kekayaan alam, pemerintah harus berpikir dan berusaha keras untuk mengeksploitasi dari perut bumi lalu mengolahnya hingga akhirnya menjadi produk jadi yang siap digunakan oleh semua rakyat.
Namun sampai kapan rakyat akan diperlakukan seperti ini? Bahkan setiap tahun targetnya selalu ditingkatkan. Negara yang menganut sistem ekonomi kapitalisme, selamanya akan memungut pajak sebagai sumber pendapatan negara. Tidak ada satupun celah untuk bisa lolos dari pajak.
Berbeda dengan sistem ekonomi Islam. Islam tidak mengenal pajak. Di dalam Islam, ada istilah “dharibah”, namun konsepnya berbeda dengan pajak dalam kapitalisme. Dharibah hanya diberlakukan saat kas negara kosong, dan ada kebutuhan darurat yang wajib ditunaikan. Dharibah hanya diberlakukan bagi warga negara muslim yang kaya. Kaya dalam standar Islam ialah jika seluruh kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan telah tercukupi, serta masih memiliki harta simpanan dalam jumlah yang cukup. Warga negara yang miskin tidak dipungut dharibah, mereka justru mendapatkan santunan dari negara.
Lalu sampai kapan dharibah ini diberlakukan? Ketika kas negara sudah terisi dan kebutuhan yang darurat dan wajib telah terpenuhi. Berbeda dengan pajak yang berlaku saat ini, selalu dipungut terus menerus. Dalam negara Khilafah, dharibah tidak menjadi satu-satunya andalan pemasukan kas negara. Negara akan berusaha keras mengelola SDA dan tidak menyerahkannya kepada swasta. Hasil dari SDA tersebut untuk memakmurkan rakyatnya. Negara Khilafah sangat menyejahterakan rakyatnya, berbeda dengan negara kapitalisme yang mencekik rakyatnya dengan pajak. Tidakkah kita merindukan hidup di bawah naungan Khilafah?
Wallahu ‘alam bisshowab
Note : Isi tulisan diluar tanggung jawab redaksi ibumenulis.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar