Recent Posts

Beranda

Facebook

Cari Blog Ini

Random Posts

Recent Posts

Header Ads

Popular Posts

Comments

3-comments

Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Ads block

Banner 728x90px

Courses

6-latest-350px-course

Search This Blog

Memaknai Perayaan Tahun Baru Hijriah

Minggu, 14 Agustus 2022



Oleh: Kholisotut Tahlia

Minggu lalu, bertepatan dengan tahun baru hijriah. Umat Islam merayakan tahun baru ini dengan berbagai kegiatan. Semarak peringatan Bulan Muharram kita saksikan di berbagai wilayah. Di sisi lain tahun hijriah dan hijrahnya Rasulullah menjadi awal mula digunakannya istilah hijrah yang sering kita dengar hari ini. Tidak hanya dalam konteks sejarah Islam, istilah hijrah juga dimaknai sebagai perubahan kehidupan individu dari kehidupan yang jauh dari Islam menjadi kehidupan yang islami. Bagaimana seharusnya kita menyikapi tahun baru hijriah dan mengambil hikmah positif dari ritual tahunan perayaan tahun baru hijriah? Sudah cukupkah hijrah individu sebagai implementasi meneladani Rasulullah?

Bulan Muharam, adalah bulan pertama yang menandai awal tahun baru hijriah. Tahun baru hijriah ditetapkan pada masa Khalifah Umar dimulai dari tahun hijrahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah. Hijrahnya Rasulullah dan para sahabat dari kehidupan Makkah yang dilingkupi kesesatan, kemusyrikan dan kedzaliman, menuju Madinah dan membangun tatanan kehidupan baru yang menerapkan syariat Islam sebagai aturan kehidupan individu dan masyarakat. Kini, istilah hijrah telah sering kita dengar tidak hanya dalam konteks sejarah Islam maupun ruang ceramah di masjid-masjid belaka. Bermula dari kalangan publik figur yang mempopulerkan istilah hijrah dalam hal perubahan kehidupan individu mereka yang menjadi Islami. 


Opini makna hijrah tidak boleh terbatas pada hijrahnya individu maupun seremonial perayaan tahunan semata. Fenomena ini justru akan menjauhkan umat dari esensi hijrah yang menjadi tujuan ajaran Islam. Hijrahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah yang menjadi awal mula penggunaan istilah hijrah harus terus diingat bahwa hijrah tersebut dalam makna hijrah secara kaffah, dalam seluruh sisi kehidupan individu dan masyarakat, bukan hanya individu semata. Hijrah Rasulullah mencakup perubahan tatanan sosial masyarakat, ekonomi, moral, budaya, sistem pemerintahan, peradilan,  asas negara dan tentu perubahan aspek individu masyarakatnya. 


Kehidupan tidak islami pada dasarnya tidak hanya terjadi pada individu saja. Bahkan, terreduksinya karakter islami pada individu masyarakat justru sebab terbesarnya adalah pengaruh dari penerapan sistem kehidupan masyarakat yang sekuler. Masyarakat diatur oleh aturan yang tidak berasal dari syariat Islam, inilah yang menjadikan pribadi rakyat jauh dari Islam. Kurikulum pendidikan yang sekuler menghasilkan generasi yang terampil secara ilmu umum dan _skill_ namun tak memiliki kekhasan karakter taqwa dalam kehidupannya, sistem ekonomi kapitalis melahirkan kebebasan kepemilikan termasuk pada pos harta milik umat menjadikan jurang kesenjangan menganga lebar, pundi kekayaan hanya terkumpul pada sebagian individu saja, sementara mayoritas rakyat berada dalam kesempitan. Sistem politik demokrasi yang menjadikan rakyat (melalui wakil-wakilnya) sebagai pembuat hukum, disaat yang sama mereka adalah produk sistem pendidikan yang tak mampu melahirkan individu bertaqwa, akan dihadapkan pada pilihan akankah membuat aturan yang berpihak pada rakyat ataukah pada para kapitalis yang memberi tawaran menggiurkan berupa harta. Sistem peradilan dan sanksi bertumpu pada landasan kitab hukum buatan manusia, yang tentu isi dan penerapannya akan sangat terpengaruh oleh intervensi manusia yang sedang berkuasa. Dalam sistem sekuler yang kapitalistik ini, penguasa yang sesungguhnya adalah para pemilik modal, karena mereka lah yang mampu membeli para pembuat undang-undang agar menciptakan aturan yang akan menguntungkan mereka, dan para pembuat hukum yang sekuler ini akan mengabaikan kesengsaraan yang dialami oleh mayoritas rakyatnya. Bagaimana dengan rakyat yang babak belur dengan kesengsaraan ekonomi, ketidakadilan sistem hukum? Mereka akan sangat mudah terjerumus pada berbagai kemaksiatan dan keharaman demi mempertahankan hidup. Nilai-nilai liberal seperti hedonisme, individualisme, persaingan materi antar individu tumbuh subur dalam kehidupan bernegara yang sekuler. Akibatnya kerakusan, ketamakan, hilangnya empati di tengah himpitan ekonomi menjadi pemandangan umum yang kita saksikan sehari-hari. Hedonisme dan kebebasan tak luput merusak generasi umat, anak-anak dan remaja kini lebih bangga dan _pede_ dalam tampilan dan gaya hidup yang bebas dan minder dalam tampilan gaya hidup Islami. Kerusakan seluruh sendi kehidupan inilah aspek urgen yang harus kita perbaiki. 

Memaknai tahun baru hijriah, kita harus meneladani Rasulullah dalam hijrah beliau. Hijrah harus kita tempuh, hijrahnya seluruh sendi kehidupan kita dari kehidupan bersendikan sekuler menuju kehidupan yang menerapkan aturan Islam. Inilah esensi dari hijrah, sebagaimana hijrah Rasulullah yang menjadi awal mula tahun baru hijriah. Momentum tahun baru hijriah harus menjadi tonggak kebangkitan umat.

Note : Isi tulisan diluar tanggung jawab redaksi ibumenulis.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar