Oleh: AR Munica
Pasca berita konvoi sekelompok pengendara motor yang menamakan diri sebagai Khilafatul Muslimin ramai di jagad media, isu terkait khilafah dan yang bersangkutan dengannya kembali naik ke permukaan. Meski banyak beredar pendapat terkait kejanggalan konvoi ini, opini seputar khilafah sudah terlanjur menyentuh publik. Kata khilafah telah menjadi stimulan terangkatnya terminologi radikalisme.
Ya, khilafah dan radikalisme disandingkan sebagai dua hal yang seolah saling berkaitan. Padahal untuk mengetahui ada hubungan atau tidaknya dua kata, perlulah diketahui definisinya secara mendalam. Lazim diketahui, khususnya bagi yang pernah belajar di madrasah (terutama zaman dahulu), khilafah pernah diajarkan khusus di bab tertentu sebuah mata pelajaran.
Pun tak sedikit yang menyebutkan bahwa dalam kitab fiqih, bab yang membahas tentang khilafah ini juga ada. Artinya dari sisi sumbernya, terminologi khilafah berasal dari bagian ajaran agama. Maka menjadi tanda tanya, mengapa sampai dianggap sesuatu yang horor atau membahayakan sehingga sering bersanding dengan terminologi radikalisme.
Dari sisi definisi, KBBI menuliskan radikalisme sebagai: 1 paham atau aliran yang radikal dalam politik; 2 paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; 3 sikap ekstrem dalam aliran politik. Dari dua hal ini, maka apa sebenarnya korelasinya?
Dikhawatirkan, pengaitan ajaran Islam dengan radikalisme justru memantik efek negatif di tengah publik. Menjadikan publik memandang apa yang sebenarnya menjadi bagian agamanya sebagai sesuatu yang berbahaya. Ndak perlu diketahui, dipelajari, apalagi diamalkan. Mungkin sekarang satu bahasan yang dianggap membahayakan, namun tidak menutup kemungkinan seiring meningkatnya opini akan merambah pada banyak hal yang berkaitan dengan Islam. Yang ujung-ujungnya apapun yang berkaitan dengan Islam ditakuti, islamofobia.
Munculnya gejala islamofobia yang berawal dari ketakutan terhadap satu ajaran Islam tak seharusnya terjadi. Dan tak boleh dibiarkan tanpa klarifikasi. Sebab dengan mencermati kenyataan saat ini, berbagai problematika di dunia remaja dan lainnya justru akan dapat dihindari bila Islam dan ajarannya dipegang kuat.
Sebutlah kasus kekerasan di kalangan remaja, aborsi akibat pergaulan bebas, penyalahgunaan narkotika, gaya hidup hedonis bergelimang harta, penyebaran L687, maraknya kasus geng motor, penularan HIV-AIDS, tawuran antarpelajar, dll. Apakah itu semua tidak membahayakan? Siapa yang sebenarnya menginspirasi remaja sampai terbelit problematika demikian? Tentu bukan dari ajaran agama kan? Tapi mengapa yang seolah membahayakan itu ajaran agama, sehingga ada yang menyandingkan dengan radikalisme?
Stigma negatif terhadap ajaran Islam bukan hanya memicu ketakutan pada ajaran Islam. Lebih dari itu, generasi remaja bisa berpotensi menjauh dari ajaran yang benar. Lepas dari panduan menjalani kehidupan sesuai aturan Tuhan.
Padahal, jika mau dicermati semua contoh problematika krusial di atas dapat dicegah sekiranya setiap jiwa memegang ketakwaan yang kokoh. Dapat dihindari sekiranya rasa takut akan dosa masih menjadi rem pakem bagi setiap jiwa. Dan dapat dimimalisir ketika gabungan individu bertakwa itu menyatu dalam masyarakat yang memiliki kepedulian tinggi satu sama lain. Saling menasehati dalam kebaikan dan kebenaran, saling mencegah dari keburukan dan kemaksiatan.
Sehingga tidak seharusnya bila remaja dikepung islamofobia. Justru remaja muslim harus kokoh iman Islamnya, harus menjadi remaja anti islamofobia. Lebih dari itu, remaja muslim harus kuat menimba ilmu agamanya, sebab identitas remaja muslim sejatinya adalah core of the core penebar Islam pada generasi selanjutnya. []
Note : Isi tulisan diluar tanggung jawab redaksi ibumenulis.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar