Oleh : Bunda Hanif
Masyarakat menengah ke atas sepertinya tidak akan tenang setelah Presiden dan jajaran kabinetnya menyetujui berbagi beban. Mereka akan menaikkan tarif listrik untuk kelompok rumah tangga yang berlangganan listriknya di atas 3000 VA. Kebijakan tersebut disampaikan oleh Menkeu Sri Mulyani dalam rapat bersama Badan Anggaran DPR RI. Sri Mulyani menjelaskan bahwa tingginya harga energi dan komoditas menyebabkan beban subsidi serta kompensasi energi turut meningkat. Gejolak harga komoditas pada 2022 tercatat mencapai Rp443,6 triliun. Atas dasar tersebut, pemerintah mengambil kebijakan menaikkan tarif listrik orang kaya. (Bisnis, 19/5/2022)
Menurut Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah, kenaikan tarif dasar listrik untuk golongan 3.000 VA ke atas akan menyebabkan inflasi ke depan dan masyarakat miskin akan menerima dampak tidak langsung. (JPNN, 22/5/2022)
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai rencana pemerintah menaikkan TDL rumah tangga 3.000 VA ke atas tidak akan berdampak signifikan menambal beban subsidi dan kompensasi (Bisnis, 19/5/2022)
Beban subsidi dan kompensasi listrik akan tetap lebar di tengah fluktuasi harga energi tahun ini. Kenaikan TDL hanya menambah sedikit pemasukan negara, namun akan berdampak inflasi yang menyusahkan rakyat kelas bawah (miskin).
Kita tentu menyadari bahwa kenaikan TDL yang terjadi secara periodik telah menjadi pilihan pemerintah sejak lama. Hal ini disebabkan salah tata kelola di tubuh PLN. Mulai dari perawatan alat-alat PLN, UU listrik dan alat-alat untuk mendukung teknologi listrik yang masih impor dengan harga mahal yang menambah beban APBN. Seharusnya pemerintah tidak mengambil langkah menaikkan TDL melainkan mengubah paradigma sistem pengelolaan sumber daya energi. Sebab menaikkan TDL tidak akan menyelesaikan masalah namun justru menimbulkan masalah baru, yakni semakin beratnya beban rakyat. Liberalisasi energi seharusnya diganti dengan penerapan sistem pengelolaan energi sesuai Islam.
Kebutuhan rakyat akan listrik seharusnya dipenuhi oleh negara, seperti amanat yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Namun kenyataannya tidak terwujud. Listrik menjadi barang ekonomi yang saat ini menambah beban masyarakat.
Di dalam Islam, listrik seharusnya dikelola oleh sebuah badan milik negara yang statusnya adalah institusi pelayanan bukan institusi bisnis. Negara harus terus memberikan subsidi kepada badan milik negara yang mengelola listrik, yang dananya diambil dari pos-pos pendapatan negara. Negara tidak boleh mengambil keuntungan dari kepemilikan umum . Negara hanya boleh memungut tarif sebagai kompensasi biaya produksi dan distribusi barang-barang tersebut. Negara yang mengatur produksi dan distribusi energi (termasuk listrik) untuk kepentingan rakyat sepenuhnya hanya ada dalam negara Khilafah.
Di dalam negara Khilafah, rakyat tidak akan terbebani dengan tarif listrik yang mahal. Negara mengambil tarif dalam nilai yang wajar. Dan negara juga tidak boleh memadamkan listrik seenaknya yang merugikan masyarakat. Menyerahkan kepemilikan umum atau penguasaannya kepada pihak swasta atau asing hukumnya haram, berdasarkan hadits Rasulullah saw, “Manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal : padang gembala, air dan api.” (HR Ibn Majah)
Di dalam sistem sekuler kapitalis, pengelolaan sumber energi dilakukan oleh swasta atau asing dengan mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari rakyat. Negara tidak memiliki kewenangan apapun. Berbeda dalam sistem Islam, pengelolaah sumber energi dilakukan secara profesional oleh negara berdasarkan paradigma riayah (mengurusi) rakyat. Sebagai umat muslim tidakkah kita merindukan kehidupan yang sejahtera seperti yang pernah ada dalam negara Khilafah selama 13 abad lamanya? Semua itu hanya dapat terwujud dengan bersama-sama berjuang mengembalikan kejayaan Islam dalam naungan Khilafah ala minhajjin nubuwwah.
Wallahu ‘alam bisshowab.
Note : Isi tulisan diluar tanggung jawab redaksi ibumenulis.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar