Oleh : Bunda Hanif (Pendidik)
Perubahan label halal yang baru-baru ini diperkenalkan Kementerian Agama pada Sabtu (12/3/2022), menuai protes netizen. Label Halal Indonesia berbeda dari label sebelumnya, baik itu dari sisi bentuk dan warna. Label Halal Indonesia berbentuk gunungan wayang dengan warna ungu dan tidak ada tulisan Majelis Ulama Indonesia (Pikiran Rakyat, 13/3/2022).
Bentuk tulisan Arab “halal” pada label baru dianggap kurang familier dan susah terbaca, sehingga banyak masyarakat yang protes terhadap perubahan logo halal tersebut. Perubahan tersebut bisa juga berpengaruh terhadap beban produksi dan rumitnya alur birokrasi untuk bisa memperoleh sertifikasi halal bagi pelaku UMKM.
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama menetapkan label halal yang berlaku nasional. Penetapan ini tertuang dalam Keputusan BPJPH No.40/2022 tentang Penetapan Label Halal yang berlaku efektif sejak 1/3/2022.
Penetapan label halal juga merupakan bagian dari pelaksanaan ketentuan Pasal 37 UU No 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal serta Peraturan Pemerintah No 39/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Kepala BPJPH Muhammad Aqil Irham.
Aqil Irham menjelaskan desain logo halal baru mengadaptasi nilai-nilai keindonesiaan. Bentuk dan corak yang digunakan merupakan artefak-artefak budaya yang memiliki ciri khas yang unik berkarakter kuat dan merepresentasikan Halal Indonesia
.
Bicara tentang perubahan label halal, tidak bisa terlepas dari wacana wisata halal di Indonesia. Sertifikasi halal menjadi salah satu faktor penting yang mendukung praktik wisata halal di Indonesia. Kehalalan produk bukan sekedar tuntutan keagamaan, tetapi juga mendatangkan manfaat ekonomi bagi pelaku usaha, khususnya pelaku usaha kuliner. Label halal akan memberi ketenangan bagi para turis yang memiliki sensitivitas terhadap keagamaan. (Liputan6.com, 31/10/2021).
Menteri Pariwisata dan Ekonomi kreatif Sandiaga Uno mengatakan Indonesia memiliki potensi wisata halal yang sangat besar. Selain memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia juga memiliki destinasi wisata yang beraneka ragam. Untuk mengembangkan destinasi wisata halal, perlu adanya fasilitas yang mendukung seperti menyediakan makanan halal, tempat berwudhu, mushola dan berbagai pelayanan lainnya yang ramah bagi muslim.
Sebagai seorang muslim, makanan dan minuman halal adalah sesuatu yang mutlak. Ini tercantum dalam dua ayat berikut ini, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (TQS Al Baqarah : 168)
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepadaNya (TQS Al Maidah : 88)
Dari kedua ayat di atas, jelaslah bahwa mengabaikan aspek halal dan tayib adalah tindakan mengikuti langkah-langkah setan. Sedangkan menerapkan konsep halal dan tayib adalah bagian dari keimanan kepada Allah SWT.
Halal seharusnya disandingkan dengan keimanan dan dalam rangka menjauhkan kaum muslim dari langkah-langkah setan. Namun jika label halal hanya sekedar sebagai instrumen ekonomi, label ini tidak memiliki kekuatan politik yang mengikat, khususnya dalam hal politik pangan halal. Aspek keterikatan terhadap hukum syarak perihal makanan dan minuman sangat penting. Oleh karena itu, ketika logo halal justru tidak terbaca jelas lafaz Arab “halal” nya, ini berpotensi menjauhkan dan menyamarkan pengaturan produk pangan halal melalui label halalnya itu sendiri, bahkan dari hukum syarak yang terkait.
Jika perubahan logo tersebut dikaitkan dengan wisata halal, itu artinya ada dunia pariwisata yang memfasilitasi keharaman. Misalnya ada tempat wisata yang juga menyediakan restoran dengan menu makanan yang diragukan kehalalannya, minuman keras(khamar) dan sebagainya. Seharusnya semua aktivitas keharaman dilarang. Namun di negara yang menerapkan sistem kapitalisme sekulerisme, hal tersebut justru mendapat ruang yang luas karena mendatangkan keuntungan yang besar bagi negara.
Perkara label halal tidak sekadar perubahan desain logo, namun ada maksud dan tujuan dibaliknya. Kalangan ahli kaligrafi maupun market branding menyatakan logo halal yang baru terlalu filosofis sehingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Ketidakjelasan lafaz Arab “halal” telah membuat masyarakat sulit membacanya apalagi jika tulisan latinnya dihilangkan. Pesan bahwa produk tersebut halal justru tidak tersampaikan. Apalagi bentuk gunungan tersebut, tidak mewakili Indonesia, tetapi hanya mewakili suku tertentu.
Kita tentu berharap, logo halal tidak sekedar sebuah simbol kehalalan suatu produk, tetapi diharapkan sebagai upaya dalam menegakkan syariat. Sehingga logo tersebut jangan sampai mengaburkan maknanya karena tidak bisa terbaca. Logo bukanlah sekedar sebuah karya seni, yang lebih diutamakan nilai estetikanya, tetapi harus bisa menyampaikan pesan di dalamnya. Sehingga siapapun yang membaca logo tersebut paham dengan pesan yang disampaikan.
Wallahu ‘alam bisshowab
Note : Isi tulisan diluar tanggung jawab redaksi ibumenulis.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar