Recent Posts

Beranda

Facebook

Cari Blog Ini

Random Posts

Recent Posts

Header Ads

Popular Posts

Comments

3-comments

Archive

Latest video-course

1-tag:Videos-800px-video

Campus

4-tag:Campus-500px-mosaic

About

This just a demo text widget, you can use it to create an about text, for example.

Testimonials

3-tag:Testimonials-250px-testimonial

Logo

Logo
Logo Image. Ideal width 300px.

Ads block

Banner 728x90px

Courses

6-latest-350px-course

Search This Blog

Pembangunan Infrastruktur Dari Siapa, Oleh Siapa dan Untuk Siapa?

Senin, 14 Maret 2022



Oleh: Tri Setiawati, S.Si

(Penulis adalah Pemerhati Masalah Perempuan dan Generasi) 


Warga di lingkungan Santren, Kelurahan Tanggung, Kecamatan Kepanjen kidul, Kota Blitar menolak perbaikan jalan rusak oleh Dinas Pekerjaan Umum Kota Blitar. Sebab, perbaikan itu hanya dilakukan dengan cara penambalan pada titik ruas yang rusak atau tambal sulam.
Warga menghendaki adanya pengaspalan ulang dengan kekuatan yang memadai karena ruas jalan di lingkungan mereka banyak dilalui oleh truk pengangkut pasir.
Mereka mengekspresikan penolakan itu dengan mengecor beberapa titik jalan yang berlubang dan menandainya dengan pohon pisang. Mereka menjaganya bergantian. Jalan rusak yang ditanami pohon pisang mendapat respons dari Dinas PUPR Pemkab Blitar. Penambalan jalan berlubang akan dilakukan secepatnya.
Kabid Jalan Dinas PUPR Pemkab Blitar, Prasetyo, mengaku sudah mengetahui kondisi jalan yang rusak parah lebih dari setahun. Namun pihaknya tak bisa berbuat banyak, karena anggaran perbaikan jalan dialihkan untuk penanganan
jalan rusak di Blitar. Penampakan jalan rusak di Blitar viral di sejumlah akun Instagram milik warga sejak Jumat (12/2). Terdapat sejumlah pohon pisang yang ditanam di sepanjang jalan tersebut sebagai tanda 'hati-hati'.


Video itu diunggah akun Instagram @jelajahblitar dan @info_seputaran_blitar. Serta telah disukai 2.414 kali serta mendapat lebih dari 200 komentar. Dari unggahan tersebut diketahui bahwa jalan  berlokasi di Ngentak, Dayu, Kabupaten Blitar.
Pada unggahan itu tertulis caption 'Haruskah warga meminta tolong kepada pohon pisang untuk mewakili perasaan kecewa pada jalanan yang rusak. Pagi ini kembali jalanan tumbuh pohon pisang. TKP sekitar kuburan Ngentak, Dayu Kabupaten Blitar. Kepada siapa warga mengeluh? Cuma kepada pohon pisang mereka mengadu. Mau tag @pemkab_blitar takut dosa...ahh sudahlah'.

(kompas.com, 14/02/2022)


Pembangunan infrastruktur seringkali  mengabaikan konsep kelestarian lingkungan dan hanya mengejar pencapaian pertumbuhan ekonomi saja. Walhasil kwalitas fasilitas umum yang seharusnya dapat dinikmati rakyat usianya tidak berumur panjang. Pengaduan rakyat diberbagai daerah, terhadap kerusakan fasilitas umum seperti jalan sering terabaikan sehingga rakyat dengan swadaya melakukan pembenahan tambal sulam. Pengaduan lewat kata-kata tidak mendapat perhatian , hingga tak ada hal  yang jitu selain berkebun pisang di tengah jalan.


Semua dilakukan sebagai bentuk kemarahan rakyat terhadapap penguasa. 
Kepemimpinan yang terkendali idiologi kapitalisme tidak akan pernah mengenal kepentingan rakyat. Kalaupun ada, adalah bentuk lip servis realisasinya lambat dan kental dengan imbalan. Pembangunan fasilitas umum menjadi kebijakan nomor sekian setalah fasilitas investasi bernilai lebih tinggi yang melibatkan Oligarki. Dan dibarengi dengan pengekploitasian sumberdaya alam besar-besaran demi mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Tak peduli ulah mereka (terutama para oligarki) telah mengakibatkan banyak kerusakan lingkungan yang merugikan masyarakat.


Adanya pihak ketiga dari rencana proyek pembangunan ini tentu jadi perhatian besar. Pasalnya, hadirnya pihak ketiga (pengusaha) ini merupakan upaya pemerintah agar berlepas tangan terkait pembiayaan proyek pembangunan.


Hal ini tentu bukan hal yang baik, adanya unsur bisnis tentu akan berakhir pada pertimbangan asas untung rugi bagi kedua pihak, yaitu pemerintah daerah dan para investor. Padahal, masalah pembangunan infrastruktur harusnya mengutamakan terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan sesuatu yang memudahkan mereka dalam beraktivitas sehari hari.


Tertundanya pembangunan infrastruktur ini, adalah dikarenakan para investor masih menimbang aspek untung rugi yang akan mereka terima terkait proyek pembangunan itu sendiri. Para investor takut jika pembangunan yang dijanjikan akan menjadi sarana profit oriented bagi mereka, tidak terpenuhi.


Sejak awal kerjasama seperti ini tidak benar, pemerintah tidak seharusnya hanya menjadi fasilitator saja, melaikan harusnya menjadi pihak yang bertanggung jawab 100% untuk tercapainya kemaslahatan umat, bukannya malah menyeret pihak ketiga yang pada akhirnya menjadikan pembangunan tidak lagi untuk masyarakat, melainkan hanya untuk memenuhi hasrat keuntungan bagi para investor itu saja.


Hal seperti ini tentu bertentangan dengan bagaimana cara Islam dalam mengatur pembangunan dalam sebuah negara. Di masa khilafah masih berdiri adalah contoh yang sangat real bisa kita ambil pelajaran terkait bagaimana sebuah negara menjadi maju tak hanya dari segi kualitas manusianya saja tapi juga termasuk dengan aspek pembagunan infrastrukturnya hingga bisa menciptakan gaya arsitektur Islami baik berupa masjid, gerbang, dan gedung-gedung pertemuan.


Kita bisa belajar dari masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab dalam membangun kota, tentang bagaimana beliau menyediakan fasilitas-fasilitas umum seperti menyediakan guest house, Gudang penyimpanan logistik, membangun bendungan, dan menyediakan penerangan. Dalam membangun jalan raya, khalifah umar juga memberi contoh sebagaimana yang dipraktikkannya dalam pembuatan jalan raya di kota Kuffah.


Dengan briliannya Khalifah Umar menetapkan jalan protokol selebar 40 hasta, jalan raya dengan lebar 30 hasta, jalan lain dengan lebar 20 hasta, dan jalan kecil (gang) dengan lebar 7 hasta. Sehingga dengan adanya fasilitas-fasilitas infrastruktur tersebut, kebutuhan rakyat dapat terpenuhi.


Kita mungkin bertanya-tanya bagaimana bisa para khalifah membangun begitu banyak infrastruktur tanpa melibatkan orang ketiga seperti yang dilakukan pemerintah-pemerintah daerah di Indonesia saat ini. Tentu bukan hal yang mustahil ketika sebuah wilayah dalam negara Islam bisa membiayai segala pembangunan tanpa harus melakukan transaksi dengan pihak manapun, karena anggaran dananya diambil dari pos-pos pemasukan seperti SDA, zakat, jizyah, khumus, dsb.


Pembangunan pun dilakukan berdasarkan ukuran seberapa penting bagi rakyat. Kemaslahatan umat lebih utama, tanpa berhitung untung rugi bagi negara. Karena posisi negara adalah sebagai pelayan umat, bukan sekedar fasilitator sebagaimana dalam Kapitalisme.


Berbeda dengan Islam yang sistem pemerintahannya benar-benar perhatian dan amanah dalam mengurus urusan umat. Merealisasikan kebutuhan fasilitas umum dengan segera. Bukan mengutamakan kepentingan oligarki dan merugikan umat seperti yang terjadi pada saat ini. Dalam Islam urusan kepemilikan juga diatur dengan baik. Sehingga tidak akan terjadi individu menguasai aset-aset umum bahkan mengendalikan kebijakan penguasa. Sistem Islam bersandar pada hukum Allah sebagai solusi atas problematika kehidupan manusia.



Dari kasus ini kita menjadi tau bagaimana peran pemerintah ataupun negara yang menganut asas kapitalis (untung rugi) dalam melaksakan pembangunan infrastrukturnya, standarnya bukan lagi kemaslahatan rakyat melainkan hanya apakah pembangunan itu bisa membawa untung yang banyak bagi para petinggi negara juga bagi para pengusaha yang bekerjasama. Sungguh jauh sangat berbeda ketika Islam yang menjadi asas negara tersebut dan aturan-aturan di dalamnya dipakai juga dilaksanakan secara sempurna.


Maka tidak heran, jika dulu peraban Islam bisa menjadi peradaban yang sangat besar yang bisa menorehkan tinta emas pada sejarah dunia yang bahkan sampai saat ini belum bisa ditiru oleh peradaban manapun. 

Note : Isi tulisan diluar tanggung jawab redaksi ibumenulis.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar